Tanggal 26 Maret 2017 bisa menjadi tanggal yang sudah dinanti-nantikan oleh publik sepak bola Indonesia. Saat itulah gong kompetisi paling elite di negeri ini, Indonesia Super League, akan berbunyi. Satu pekan kemudian giliran Divisi Utama yang mulai bergulir. Terakhir, Liga Nusantara akan dimulai di tingkat Asprov pada April nanti.
Meski demikian, masih saja ada persoalan yang menjadi bumbu kurang sedap di awal kompetisi. Kondisinya tak jauh beda dengan yang pernah terjadi dua tahun silam. Persoalan itu tak lain dari legalitas klub yang belum tuntas. Padahal legalitas merupakan unsur utama yang harus dipenuhi sebuah klub profesional untuk bisa tampil di sebuah kompetisi resmi.
Selain legalitas, klub juga harus mempunyai aspek lain yang menjadi kriteria sebuah klub profesional. Antara lain infrastruktur, finansial, sporting (pembinaan), dan manajemen. Satu saja aspek di atas tak terpenuhi maka klub itu seharusnya tidak layak tampil di kompetisi sekelas ISL.
Ingat! Pada 2015 Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) pernah mempertanyakan soal legalitas sejumlah klub peserta ISL. Hasilnya, PSSI dibekukan Pemerintah dalam hal ini Kemenpora, karena rekomendasi BOPI tidak ditanggapi. Lalu kompetisi berakhir di tengah jalan dan Indonesia pun mendapat sanksi dari FIFA. Apakah hal tersebut ingin kembali terulang?
Tahun ini, setidaknya ada lima klub yang legalitasnya kembali atau tetap dipertanyakan oleh BOPI. Mereka adalah Arema Cronus (sekarang menjadi Arema FC), Bhayangkara United (sebelumnya bernama Persebaya United), Persepam Madura United, Bali United, dan PS TNI. Legalitas klub-klub tersebut terkait lisensi klub yang dimiliki dan semuanya tampil di ajang Torabika Soccer Championship 2016.
"Mereka adalah klub yang rata-rata menggunakan nama baru dan tidak dikenal di kompetisi sebelumnya. Ini adalah problem yang harus dipecahkan bersama,” sebut Muhammad Noor Amman, Ketua Umum BOPI.
Badan Hukum dan Lisensi klub-klub di Indonesia memang seolah barang dagangan. Siapa punya uang, dia bisa beli. Padahal hal ini dengan tegas dilarang oleh FIFA. Seperti tertera pada artikel 4.4 halaman 20 Regulasi FIFA untuk Lisensi Klub menyebutkan,”A licence may not be transferred” yang terjemahannya kurang lebih lisensi sebuah klub tak bisa dipindahtangankan atau diperjualbelikan.
Regulasi FIFA tersebut merupakan acuan seluruh Konfederasi dan anggotanya dan wajib diikuti. Anehnya, di Indonesia regulasi tersebut malah seolah tak pernah ada. Lisensi klub bisa dengan mudah dibeli, selama punya uang banyak tentunya.
Ambil contoh pembelian lisensi yang dilakukan Bali United. PT. Bali Bintang Sejahtera yang menaungi Bali United melakukan praktik beli lisensi untuk bisa ikut kompetisi dari klub Putra Samarinda. Sementara Badan Hukum klub Putra Samarinda (PT. Putra Samarinda Indonesia) tidak diakuisisi oleh PT Bali Bintang Sejahtera.
Anehnya, hal ini tidak dianggap sebuah pelanggaran aturan oleh PSSI. Joko Driyono yang pada tahun lalu masih menjabat CEO PT. Liga Indonesia malah mengizinkan klub berganti nama dan badan hukum. Padahal jelas-jelas hal tersebut bertentangan dengan Regulasi FIFA.
Dampak buruk dari gonta ganti badan hukum sebuah klub terutama akan dirasakan para pemain. Ketika ada tunggakan gaji dari badan hukum sebelumnya, pihak badan hukum pengganti akan lepas tangan.