Mohon tunggu...
Agus Dwi
Agus Dwi Mohon Tunggu... Freelance writer & photographer -

Facing a new life as a writer since 2014 after more than 13 years work as a journalist. Love to explore different cultures and social life at any place. Contact me by FB @AyahAgus or Twitter @AyahKinan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Tunggu 22 Desember untuk Muliakan Ibumu

22 Desember 2015   05:05 Diperbarui: 22 Desember 2015   07:17 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Bagi saya, Hari Ibu bisa dilakukan kapan saja. Tidak harus menunggu 22 Desember hanya untuk sekadar memuliakan sosok yang punya pengaruh paling besar dalam kehidupan setiap manusia. Bahkan seharusnya kita memuliakan ibu setiap hari.

Seorang anak bisa saja tidak mempunyai ayah, baik secara batiniah maupun jasmaniah. Tapi seorang anak pasti punya seorang ibu. Karena hanya ibu yang bisa mengandung anaknya. Karena hanya ibu, sosok yang mengandung selama 9 bulan dan rela bergelung dengan rasa sakit bahkan kematian saat melahirkan. Seremoni 22 Desember terlalu lama jika kita ingin lebih memuliakan ibu kita.

Begitu dimuliakannya sosok ibu dalam sejarah kehidupan manusia. Allah SWT sampai menegaskan perintah untuk memuliakan seorang ibu dalam surah Al-Ahqaaf ayat 15 yang artinya,”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:’Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”

Nabi Muhammad SAW, juga mewariskan satu perintah untuk memuliakan ibu. Dari Abu Hurairah radhiyalaahu ‘anhu, beliau berkata,”Sesorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’Rasulullah SAW menjawab,’Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya,’Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab,’Ibumu!’ Orang tersebut bertanya lagi,’Kemudian siapa lagi?’ ’Rasulullah SAW menjawab,’Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali,’Kemudian siapa lagi?’ ’Rasulullah SAW menjawab,’Kemudian Ayahmu.” (HR. Bukhari no.5971 dan Muslim no.2548)

Keharusan memuliakan seorang ibu juga dituliskan oleh seorang sastrawan besar negeri ini dalam salah satu karyanya. Almarhum Pramoedya Ananta Toer menunjukkan rasa hormatnya kepada ibu dalam salah satu karya besarnya, “Jejak Langkah” yang merupakan bagian dari Tetralogi Buru.

Dikisahkan dalam bukunya itu, Minke berani melawan aturan Sekolah Kedokteran hanya karena kedatangan ibunya jauh-jauh dari B untuk menengok sang anak tercinta. Sang ibu yang menginap di sebuah rumah di luar komplek sekolah pun ditemaninya setiap malam. Meski sudah mendapat peringatan lisan dari direktur sekolah, Minke tetap keukeuh menemani ibunya seusai jam pelajaran karena menilai memuliakan ibu jauh lebih penting daripada sebuah aturan sekolah. Dia siap menghadapi risiko apapun demi memuliakan sang ibu.

Bisa dibilang, seorang anak pun bakal cenderung lebih dekat kepada ibu dibanding ayahnya. Terlepas dari aktivitas sang ayah yang lebih banyak di luar rumah, pendekatan dan kasih sayang seorang ibu memang tidak bisa disaingi oleh sang ayah. Terlebih, entah kenapa sosok ayah selalu berusaha menjadi seorang laki-laki yang tegas dan sedikit kurang ramah dengan anaknya.

Saya sendiri sudah tak lagi bisa berkeluh kesah kepada ibu sejak pertengahan 2013 lalu. Ya, beliau sudah dipanggil menghadap Yang Maha Esa. Sedih sudah tentu. Terlebih karena tak bisa lagi memuliakan ibu. Tak ada lagi tempat untuk meminta bantuan doa ketika kita mempunyai keinginan atau harapan dalam hidup. Satu yang disyukuri saya adalah bisa menemani ibu sejak masuk rumah sakit hingga tarikan napas terakhirnya. Sekaligus mengantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Kehilangan ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita artinya kehilangan kesempatan untuk lebih lama memuliakan beliau. Bersyukurkan jika Anda masih memiliki ibu yang bisa ditemui setiap hari atau berbicara dengan beliau sesering mungkin meski hanya melalui telepon. Karena Anda punya banyak kesempatan membahagiakan dan memuliakan beliau.

Sudahkah Anda memuliakan Ibu hari ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun