Mohon tunggu...
Ayaayawae
Ayaayawae Mohon Tunggu... -

Pecinta Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Anak Kampung 8

19 September 2011   15:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:49 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umur 9 tahun. Kelas 4 SD. Masih butuh 8 tahun untuk jadi dewasa. Tekad mudaku (atau kecilku), umur 17 tahun itu umur dewasa, boleh ikut pemilu, boleh nonton film 17 tahun ke atas, dan mandiri dari orang tua. Bukan secara kejiwaan saja, tapi juga finansial. Kalau bisa tinggal pisah dari orang tua.

Umur 17 tahun. Kelas 3 SMA. Masih tergantung sama orang tua, tergantung semuanya, terutama keuangan. Kenapa bisa begitu berbeda dari yang kubayangkan saat umur 9 tahun? Ternyata umur 17 tahun itu bukan apa-apa. Aku juga tak ikut pemilu, waktu itu bukan tahunnya pemilu. Tapi pemilu bukan lagi sesuatu yang wah. Pada jaman Orba ketahuan sudah siapa pemenangnya sebelum coblos, pada jaman Reformasi siapapun pemenangnya, nasib rakyat ya tetap saja tak berubah.

Umur 21 tahun. Mulai bekerja. Nikmat rasanya menerima uang dari keringat sendiri. Tidak berkeringat sebetulnya, kerjanya cuma duduk dalam ruang AC. Apa yang berubah? Waktu. Kadang terasa cepat, kadang lambat. Sungguh waktu sama dengan karet, bersifat elastis. Tergantung siapa yang melihat, apa yang dilihat, dari mana melihatnya.

Umur 35 tahun. Menganggur. Bertahun-tahun sudah. Waktu lebih sering berjalan lambat. Dalam penderitaan, setiap detik dihitung cermat, akibatnya merasakan lambannya penderitaan berakhir. Ketika bersuka cita, justru memacu waktu, seolah kebahagiaan akan lari jika tak dikejar. Aku ingin sekali mengerti seluk beluk waktu, agar aku bisa mempercepat waktu di saat sengsara, melambatkan waktu di saat bahagia, bahkan menghentikan waktu bila perlu. Juga ingin melompati waktu, ke depan, ke belakang. Indahnya melamunkan waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun