Mohon tunggu...
Ayaayawae
Ayaayawae Mohon Tunggu... -

Pecinta Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Anak Kampung 7

16 September 2011   14:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:54 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Teringat mainan masa kecil di kampung. Bukan PS atau video game lainnya. Tapi ada juga itu di kampung. Jangan meremehkan. Warung game, sebagaimana warung telekomunikasi, wartel, masuk juga ke kampung. Tapi aku bukan pemain digital. Mainanku kampungan.

Umum anak laki-laki main perang-perangan. Pakai pistol yang diserut dari kayu papan bahan lembut, menyerupai pistol. Dengan pelatuk. Diikat dengan karet gelang, menggulung gak karuan, sampai bisa mematuk dengan benar: membunyikan letusan pistol. Perlu gambaran detil untuk menjelaskannya. Intinya, letusan dihasilkan dari bubuk mesiu yang tergores. Di seberang pelatuk, ditancapkan ulir jari sepeda, ke dalam lubang ulir ini diisikan bubuk korek api. Kemudian tutup dengan sobekan kertas gesek korek api. Di kepala pelatuk, tancapkan paku kecil yang pas bisa masuk ulir tadi. Saat pelatuk dilepas, paku memaku ulir, plok,  terjadi ledakan, bubuk mesiu diasah kertas gesek itu.  Menggelegar suaranya. Mati satu kompeni.

Senapan mesin lain lagi. Lebih gampang buatnya. Dari tulang daun pisang. Panjang sekira panjang tangan anak. Tulang daun disayat di tiga tempat kalau mau membuat senapan otomatis 3 peluru. Buat sayatan sedemikian sehingga sekepal bagian seolah menempel ke tulang daun. Kepalan bisa ditarik membuka tapi tidak putus, ini posisi siap tembak. Menembak: sapukan tangan sepanjang senapan menutup kepalan dengan cepat. Tak-tak-tak. Suara senapan mesin. Musuh pasti mati. 3 peluru. Tak mungkin tak menemui ajal.

Mainan anak kota berbeda. Terlepas mainan mana yang lebih baik bagi tumbuh kembang anak, aku pikir mainan perlu memenuhi unsur kreativitas dan nilai kebersamaan, mengenalkan sosialisasi, dan pengakuan adanya menang kalah. Mungkin negeri ini porak poranda karena semua pejabat dan banyak rakyatnya lupa atau tak pernah bermain di masa kecilnya atau dikucilkan dari permainan sehingga tidak mengerti nilai-nilai permainan luhur. Masa kecil terkucil karena sikapnya yang istimewa -- bisa positif bisa negatif, yang positif menjadi genius, atlet handal, pengusaha sukses, yang negatif menjadi pejabat tukang korup. Mereka hanya tau ada satu pemenang. Yang lain boleh mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun