Mohon tunggu...
Zaki Annasyath
Zaki Annasyath Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Lagi belajar nulis-Neraka terdalam dicadangkan bagi orang-orang yang tetap bersifat netral disaat krisis moral

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mbah Tenong

3 Juli 2019   18:26 Diperbarui: 3 Juli 2019   18:36 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caption Foto: Dari kiri ke kanan, Bu Eva dan Mbah Tenong/dokpri

Wanita itu menangis di jok tengah mobil APV kami yang melesat menuju rumahnya. Alm Ibu saya berusaha menenangkan wanita iu meskipun tampak matanya juga sembab. Ayah mencoba memacu mobil agar cepat sampai tujuan. 

Menjelang duhur, Saat berjualan, Mbah tenong (Sapaan akrab wanita itu) mendapat kabar bahwa suaminya telah meninggal. Beliau pun meminta tolong ibu saya untuk mengantarnya pulang. Saya masih SD ketika peristiwa itu terjadi.

Mungkin kami tak pernah mengetahui nama aslinya. Namun, Sehari-hari Ia dipanggil Mbah Tenong. Panggilannya itu mengacu pada tenong, wadah makanan terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran besar. 

Tenong tersebut berisikan aneka macam gorengan dan lumpia. Untuk meredam dahaga, Mbah tenong menawarkan es teh yang sedikit dibekukan, harganya Rp. 500.  Dari pagi menjelang sore, Mbah tenong berjualan di ujung trotoar yang terletak di depan gerbang masuk sekolah tempat saya belajar

Mbah tenong memang terkenal akan keramahannya. Tempat Ia berjualan menjadi tempat penitipan tas bagi saya dan kawan-kawan saya ketika ingin bermain sepulang sekolah. Setelah selesai bermain bola pun kami kerap berlari mendatangi Mbah tenong untuk membeli es tehnya. 

Selain itu, ibu-ibu yang menunggu anaknya pulang juga kerap singgah di tempat simbah. Tak hanya keramahan, lumpia yang ia jual benar-benar memanjakan lidah. Dengan bungkus daun pisang, Mbah tenong menyajikan lumpianya dengan cara dipotong-potong menggunakan gunting. Untuk menambah rasa, lumpia itu diguyur sedikit cuka dan disisipkan timun. Benar-benar candu.

 Mobil APV kami merayap menuju rumah mbah tenong. Setelah melampaui beberapa tikungan terjal, kendaraan pun berhenti. Saya tak begitu paham apa makna kesedihan kala itu. Saya tetap bergeming di mobil ketika Ayah dan ibu mengantar mbah tenong yang tergopoh-gopoh menuju kamar Alm Suaminya. 

Yang saya paham adalah, Seminggu kemudian, Mbah tenong sudah kembali berjualan. Tetap dengan keramahannya. Tetap dengan sunggingan senyumnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun