Dia menatap arloji di pergelangan tangan kanan sembari mulutnya berdecak. Sesekali Ia lepaskan pandangan ke luar gerbang asrama. Mata hitamnya menyelidik lalu lalang orang-orang yang datang. Suasana Asrama, Sabtu pagi itu, begitu ramai. Murid-murid baru berdatangan dari berbagai daerah. Tercatat, ada sekitar 209 murid baru ketika itu. Kakak-kakak kelas 2 SMA berperan membantu Ustad mendata total jumlah murid baru. Aku melangkah menuju kursi kosong dekat jendela, bermaksud menghampiri bocah murung tersebut. "Dari mana?," Sapaku. Tapi, tak urung Ia menjawab, sebuah bola melayang hampir mengenaiku. Aku terkesiap. Kaget. Beberapa murid baru, pelaku penembakan bola, lari sambil tertawa-tawa. Bocah itu pun tertawa. Aku pun akhirnya turut menertawakan kejadian tadi.
Usia bocah itu sekitar 12an. Kemeja biru, celana kain hitam panjang, sepatu hitam. Rambutnya dicukur pendek, sesuai ketentuan Asrama. Perangainya halus. Ia mengaku bernama Ahmad. "Nunggu orangtua kesini," kata Ahmad. Orangtuanya kembali untuk mengambil Alquran yang tertinggal di rumah.
      "Tau sekolah ini waktu kelas 5 Sd, Ayah Alumni sini. Jadi, aku nurut aja waktu disuruh daftar. Malah dulu senang, Soalnya ada Ekskul Robotik, Tapi gak tau kenapa kok berat ya pisah sama orangtua untuk pertama kali," Tukasnya.
Pernah sebelum masuk, Ia sesumbar pada keluarganya bahwa dirinya tak akan kangen pada orangtua, bahwa Ia pasti kuat jika tak pulang kerumah. Omong kosong itu keluar ketika bermain Playstation sehari sebelum masuk Asrama. Tawanya berderai. Dia mengaku itu semua hanyalah sebuah kenaifan.
      Suara Es dungdung turut serta mewarnai situasi pagi itu, beberapa murid terlihat bergerombol menunggu Es Dungdung yang mereka pesan.  Menjelang siang, Semua murid dipanggil untuk melaksanakan sholat duhur berjamaah di Mushola. Ahmad pun segera mengambil peci di kamar. Lemarinya bersebelahan dengan lemari seorang murid yang kelak akan selalu sekelas dengannya selama 6 tahun. Aku turut melaksanakan sholat berjamaah, menjadi Imam Sholat. Selesai berdzikir, murid-murid diperkenankan untuk kembali menjalani aktivitas mereka. Ada beberapa murid yang mengobrol, mencuci pakaian, mengambil makanan yang sudah disediakan. Ada juga beberapa murid yang sibuk mengantri di wartel depan Asrama untuk menanyakan kabar orangtua di rumah. Murid-murid seperti itu memang sudah lama tinggal di Asrama. Biasanya asal mereka jauh.
      Sementara murid-murid lain sibuk menjalani aktivitas di luar kamar, Ahmad lebih memilih menghabiskan Siang itu dengan membaca sebuah buku lalu tidur. Aku menghampirinya ketika ia tengah sibuk membaca di ranjang. "Biar hari cepat berlalu, kan kalau membaca lalu tidur, satu hari bakal terasa cepat," Ujarnya. Ahmad lalu bercerita, kalau saat di mushola tadi, Ia bertemu dengan Fikra, teman les matematika saat SD. Beberapa kali mulutnya juga komat kamit menceritakan buku yang Ia baca. Aku lalu menanyakan tentang cita-cita. Dia menyebut, Ilmuwan, Penulis, cendekiawan muslim. Namun, sejujurnya, Ahmad tak tau ingin menjadi apa. Hanya ketika itu, Ibunya memberitahu beberapa hal hebat tentang cita-cita yang disebut terakhir. Cita-cita yang bakal berubah menjadi lebih sederhana seiring waktu.
      Rasa lapar menyerangku, Aku segera beranjak menuju warung Pandawa untuk memesan Nasi telur. Selepas memuaskan rasa lapar, Aku duduk di depan ruangan Musryif  (Ustad pengampu) memandang Kesunyian kala itu. Ditengah lamunan, seseorang menyapaku. Aku terperanjat. Seorang Ibu berkacamata. Senyumnya tersungging. "Mas, Boleh minta tolong panggilkan Ahmad?,". Aku mengiyakan dan segera mengambil Mircrophone di ruang Musryif, memanggil Ahmad. 10 menit kemudian, Ahmad datang dengan wajah yang berantakan. Mendatangi Ibunya dan berbicara beberapa hal. Ibu Ahmad pun memberikan Alquran yang tertinggal kepada Ahmad seraya menasehati agar tak lupa lagi.
      Kini, di sebuah teras depan Gedung Kumon, Sementara malam begitu dingin menekan, Aku meneguk Susu kotak Ultramilk sembari melepas pandangan ke Jalan. 9 tahun berlalu semenjak pertemuanku dengan Ahmad. Aku kembali terngiang-ngiang, Hari itu adalah awal mula segala masa depannya. Apa kabarnya? Ahmad mungkin saja telah berkuliah di sebuah perguruan tinggi ternama, menjadi pria berkelas dengan segudang prestasi, Menjadi kebanggaan keluarga, atau meniti jalan menggapai cita-cita yang Ia dambakan. Sedangkan Aku, disini bersama sepi yang tak bergerak, mengutuki nasib yang mengkoyak-koyak. Ahmad mungkin kecewa dan malu melihatku saat ini. Seorang Laki-laki yang payah mengenal diri sendiri. Seseorang yang gagal mewujudkan masa depan cerah bagi dirinya 9 tahun silam. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H