Mohon tunggu...
Axtea 99
Axtea 99 Mohon Tunggu... lainnya -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kakek tiga cucu : 2K + 1Q

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi tanpa Parlemen

4 Oktober 2014   09:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:26 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123408062040074975

(Photo:Shutterstock.com)

Para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), periode 2014-2019 telah dilantik pada tanggal 1 Oktober 2014, dan telah memilih pimpinannya tanpa musyawarah dan mufakat, tetapi secara brutal melalui Pimpinan Sidang Anggota tertua yang kader Golkar dari kubu Koalisi Merah Putih (KMP), tidak mengakomodasi interupsi dan aspirasi anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sehingga KIH melakukan aksi walkout dan dengan sewenang-wenang KMP memilih pimpinan nya sendiri dengan komposisi Ketua : Golkar dan Wakil-wakil Ketua dari : Demokrat, Gerindra, PAN, PPP dan PKS.

Cara seperti ini, baru pertama terjadi di DPR sejak Indonesia merdeka di tahun 1945, dan sama sekali tidak mencerminkan diberlakukannya demokrasi yang esensinya : dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi hanya berupa pemenuhan syahwat ingin berkuasa elit politisi kubu KMP dengan cara tak bermartabat dengan mencederai dan menghianati rakyat.

NKRI, yang didirikan para founding  fathers berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menganut sistem demokrasi, dimana kedaulatan berada sepenuhnya ditangan rakyat. Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kalimat “dipimpin oleh hikmat kebijakswaan” disebut lebih dulu dari “permusyawaratan/perwakilan”, ini berarti nilai-nilai luhur, kebijaksanaan dan kebaikan yang menjadi tujuan berdemokrasi, lebih diutamakan dari sekedar alat, sarana atau wahana yang bisa direkayasa atau dimanipulasi. Sehingga, jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah oleh para anggota DPRD itu lebih mencerminkan demokasi Pancasila ketimbang pemilihan langsung oleh rakyat, jelas sangat keliru dan sesat pikir, karena hanya terpaku pada alat, sarana, atau wahana untuk implementasi demokrasi, tapi tidak berangkat dari hakikat atau esensi demokrasi itu sendiri.

Dengan demikian, sejatinya keberadaan DPR adalah semata sebagai alat, sarana dan wahana untuk implementasi demokrasi, dan jika kenyataannya DPR sudah tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana harusnya, maka secara logis kita sudah tidak membutuhkan keberadaan DPR tersebut karena esensi demokrasi itu sendiri adalah tujuan sedangkan DPR hanyalah sekedar alat saja, maka adalah sah-sah saja jika rakyat melalui suatu referendum menghendaki untuk membubarkan DPR tersebut, atau Presiden terpilih menerbitkan Dekrit untuk membubarkan DPR.   Wallahu Alam!!

Referensi : http://www.nefosnews.com/post/opini/indonesia-2050-demokrasi-tanpa-dpr

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun