Diera 10 tahun SBY berkuasa, PDIP secara konsisten dan terbuka menyatakan diri sebagai partai oposisi. Sikap konsistensi yang terkesan sebagai Partai ‘Wong Cilik’ pro rakyat ini ternyata berbuah manis, karena setelah periode kepemimpinan SBY berakhir, si Moncong Putih mulai menampakkan tanduknya di Pilpres 2014, dengan menugaskan Jokowi menjadi Capres.
Di Pemilu 2014, PDIP berhasil keluar sebagai pemenang dengan memperoleh suara rakyat sebanyak 23,681,471 setara 18.95 % suara, sedangkan pasangan Jokowi-JK, meraih suara 70.997.851 suara setara 53.15%, untuk memenangkan Pileg dan Pilpres 2014. Selanjutnya, di Pilkada serentak 9 Desember 2015, PDIP berhasil meraih kemenangan di 160 daerah dari 264 Provinsi dan Kabupaten/Kota (60,60%) yang melaksanakan Pilkada, yang diperoleh dari suara basis massa, simpatisan, anggota dan kader partai di akar rumput yang sangat solid.
Hasil ini menunjukkan bahwa PDIP sangat memahami keinginan rakyat Indonesia untuk memiliki presiden yang mempresentasikan ‘wong cilik’, dan ketika Jokowi menjadi Presiden ketujuh RI, sekali lagi PDIP mengolah dukungan rakyat dengan membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sayangnya ada sedikit cacat, ketika PDIP sebagai pemenang Pileg 2014, gagal meraih posisi Pimpinan DPR yang direbut oleh KMP, karena tidak cerdasnya Sang Puan selaku ketua Fraksi PDIP ketika melawan manuver para politisi kawakan dari KMP. Kekalahan KIH ini akan menjadi sejarah dalam perpolitikan di negri ini, ketika Pemenang Pileg gagal menjadi Ketua DPR RI, untuk kali pertama.
Dalam menghadapi momentum pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang, hingga saat ini baru ada 2 bakal calon gubernur, yakni Ahok, Gubernur petahana, yang diusung oleh Nasdem, Hanura dan Golkar serta Sandiaga Uno yang diusung oleh Gerindra dan PKB. Untuk itu PDIP memiliki opsi bergabung dengan partai lain untuk mengusung calon yang ada, atau karena memiliki 28 kursi di DPRD DKI, bisa mengusung sendiri kader parpolnya yang harus dengan perhitungan yang cermat dan komprehensif dengan tidak hanya fokus kepada pemenangan pemilihan Pilkada DKI 2017, namun harus juga melihat dengan kacamata Nasional dengan tidak mengorbankan kinerja kinclong, para kader didaerahnya masing-masing. Suara2 kader partai PDIP semakin menggaung dari tingkat bawah hingga atas, menyiratkan adanya perbedaan pandangan di Internal PDIP sendiri.
Sikap tenang seperti diperlihatkan PDIP ini, menunjukkan sikap kehati-hatian partai untuk tidak melakukan langkah yang keliru, dengan membaca situasi politik terkini, khususnya yang terjadi di Jakarta menjelang Pilkada 2017, yang membuat PDIP harus memunculkan calon berdasarkan pilihan warga Jakarta.
Beberapa hari setelah Plt DPD PDIP DKI Bambang DH menyanyikan lagu “Ahok Pasti Tumbang” dengan gagahnya, maka Bambang bak terkena boomerang, karena DPP segera langsung mencopot jabatannya dan mengganti dengan Ady Wijaya sebagai Ketua DPD DKI Definitif.
Pencopotan Bambang DH ini, mengisyaratkan DPP kembali menunjukkan konsistensinya untuk selalu mendengarkan aspirasi ‘wong cilik’, yang lebih menghendaki Ahok melanjutkan tugas2nya membangun kota Jakarta lebih baik seperti yang diperlihatkanya selama dia menjabat Gubernur DKI selama ini.
Dalam waktu yang semakin mendekati batas akhir untuk pendaftaran Calon Gubernur yang akan diusung ini, apapun keputusan PDIP nanti akan menjadi momen pembuktian apakah Visi Trisakti PDI P akan dilaksanakan dengan konsisten yang terbukti berhasil, ataukah sebaliknya demi kepentingan sesaat para oknum kader yang sedang membawa misinya sendiri dengan seolah-olah mewakili rakyat yang telah memilihnya, yang akan berdampak signifikan kepada kontestasi Pileg dan Pilres di 2019 mendatang. Wallahu Alam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H