Gambar : Tribunnews.com
Pada tanggal 26 Januari 2016, melalui Rapat Paripurna DPR RI, secara resmi DPR RI telah mengesahkan Program Legislasi Nasional 2016 (Prolegnas 2016) mencakup 40 Rancangan Undang2 Prioritas, dari usulan sebanyak 132 RUU. Dalam Prolegnas 2016 tersebut, termasuk Revisi Undang2 No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengesahan tersebut tidak sepenuhnya disetujui oleh semua fraksi, karena Fraksi Gerindra, menolak dan belum bisa menerima UU KPK dimasukkan kedalam Prolegnas 2016, karena fraksi menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga hak kewenangan luar biasa juga harus diberikan kepada KPK, lewat kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, termasuk penyadapan dan SP3. Namun demikian Pimpinan DPR tetap mengesahkan Prolegnas 2016 tersebut dengan catatan bahwa Fraksi Gerindra, belum menyetujui dimasukkannya revisi KPK dalam Prolegnas 2016 ini.
Hingga saat ini KPK merupakan satu2nya lembaga hukum yang masih dipercaya masyarakat, yang terbukti secara serius telah berhasil memerangi korupsi dengan menangkap tangan para koruptor kakap yang sebelumnya tidak tersentuh hukum. Prestasi ini tampak dengan dipidananya para Pimpinan parpol, menteri2 dan anggota DPR RI, yang memang ditenggarai menjadi aktor utama korupsi di negeri ini.
DPR RI sendiri berasumsi bahwa masuknya RUU KPK kedalam Prolegnas 2016 ini untuk memperkuat institusi KPK, dengan merevisi empat hal yakni : pemberian wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); Pembentukan Dewan Pengawas; Wewenang Penyadapan dan Pengangkatan Penyidik Independen. Dari empat hal tersebut, hanya pengangkatan penyidik independen yang berpengaruh positif, sedang ketiga hal lainnya malahan justru akan memperlemah kewenangan KPK.
Wewenang menerbitkan SP3, akan membuat penyidik KPK memiliki kesempatan bermain2 dengan perkara yang diusut, karena hal ini merupakan sumber korupsi yang sering terjadi, padahal tanpa wewenang SP3 selama ini, tidak pernah menghambat aksi KPK.
Revisi atas wewenang penyadapan, sangat berdampak besar terhadap kesaktian KPK, karena selama ini dengan wewenang penyadapan KPK bisa melakukan operasi tangkap tangan terhadap aktor kakap koruptor termasuk para anggota Dewan dan politisi. Wewenang ini juga membuat penyidikan berjalan lebih cepat ketimbang dengan dugaan korupsi dari hasil perkembangan kasus.
Hasil survey Saiful Mujani Research and Consulting yang digelar Desember 2015 dan dirilis pertengahan Januari 2016 menyatakan bahwa 61 % masyarakat berfikir bahwa KPK harus diperkuat, bukan sebaliknya, dan 86% responden tidak setuju penghapusan wewenang penyadapan, karena akan melemahkan KPK dan membuat korupsi semakin berkembang. Seharusnya DPR memperhatikan keinginan masyarakat ini dengan tidak mengutak-atik apa yang sudah menjadi kekuatan KPK, selama ini.
Dengan demikian, maka dimasukkannya Revisi RUU KPK kedalam Prolegnas 2016 ini, jelas2 merupakan aksi DPR RI Pro koruptor karena akan membuat eksistensi KPK dalam pemberantasan korupsi terganggu dan berada diujung tanduk.
Akhirnya, publik hanya bisa berharap pada Presiden Jokowi, sebagai palang pintu terakhir yang bisa melawan aksi DPR RI untuk menggembosi KPK dengan menolak hasil Prolegnas 2016 atas RUU KPK nanti.
Â