"KAK, AKU CINTA KAKAK...."
Sepertinya ngga ada yang salah dengan perasaanku ini, aku mencintai dia sepenuh hati meskipun dia 5 tahun lebih tua di atasku. Dia seorang perempuan yang sederhana, keibuan, ramah dan hampir tidak pernah marah. Apalagi sejak ia menjadi pengganti ibu di rumah ini sejak perceraian kedua orang tuaku. Atau cintaku padanya hanya wujud kerinduan aku pada ibu, yang telah lama sudah tidak aku lihat lagi. Wajah ibuku yang makin samar dan hampir kulupakan. Tapi semua itu sudah tergantikan. Kini ada Yara, kakak perempuanku satu-satunya, yang menghidupi aku dan ayahku yang sedang sakit-sakitan. Kak Yara yang bekerja keras siang malam untuk menyekolahkan aku, merawat ayah dan juga tidak pernah absen memasak makanan sederhana tetapi dengan rasa melangit.
Kak Yara yang selalu penuh pengertian, mengajarkan aku banyak hal. Membuat aku mengerti akan ketegaran dan kesabaran. Namun perlahan semakin aku mengenal, melihat dan kebersamaan aku dengan Kak Yara, ada segelitik rasa di hati ini. Perasaan cinta yang lain, terkadang terikuti nafsu membayang, saat aku melihat dia sedang memasak atau membereskan tempat tidur atau menyapu dan mencuci piring. Lekukkan tubuhnya, nada suara dan setiap gerak langkahnya mengundang hasrat ini untuk tak lepas menatapnya. Perasaan ini awalnya kecil dan tidak berarti, tidak membawa suatu yang harus mendapakan kesan. Tetapi lama kurasa, lama berlangsungnya waktu, semakin besar rasa di hati menunggu tanya, 'Kak Yara, aku jatuh cinta...' begitulah akhirnya batinku bicara.
Ketika ada kesempatan berdua dengan Kak Yara, entah pada saat makan bersama atau membantunya membereskan meja makan, ingin rasanya aku luapkan semua rasa di hatiku. Tapi entah bagaimana Kak Yara, menjawab semua rasa ini, apakah dia akan tertawa karena kita ini sekandung, tidak mungkin menjalin hubungan cinta terlarang, atau ia akan menganggap aku hanya bercanda. Tapi sungguh, rasa ini tidak dapat aku bendung. Aku mencintai Kak Yaraku.
"Kak, aku ingin berhenti sekolah saja," kataku suatu hari padanya. "Kenapa?" Kak Yara tampak kaget mendengar perkataanku. "Aku ingin bantu kakak kerja."
Kak Yara duduk di sampingku, memegang bahuku perlahan. "Ardi, Kak Yara masih sanggup kok kerja sendiri, kamu sekolah saja, kan sayang sudah kelas dua. Sebentar lagi kenaikan kelas terus tinggal setahun lagi kamu lulus, baru kamu bisa mulai cari kerja. Sayang Di..."
Aku menunduk, memeluk Kak Yara, "Aku sayang sama kakak, aku ngga bisa liat kakak kerja, kakak udah capek di rumah ngurus Ardi sama Ayah, kakak masak, kakak kerja juga. Ardi ngerasa jadi ngga berarti karena Ardi ngga bisa bantu kakak. Ardi sayang Kak, sayang banget sama Kak Yara." Air mataku menetes membasahi bahu Kak Yara.
Kak Yara mengusap rambutku, masih terus membalas pelukku, "ini hanya persembahan terbaik yang bisa kakak lakukan untuk kamu dan ayah. Kakak juga sayang sama Ardi, kakak juga akan ngerasa ngga berarti kalau kakak ngga bisa terus liat kamu sekolah, kakak ngerasa gagal kalau kamu harus berhenti dan bantu kakak kerja. Percayalah Di, semua ada waktu dan masanya sendiri. Allah sedang merencanakan yang terindah untuk kita."
"Tapi Ardi sayang kakak, bukan sayang yang biasa, Kak"
"Sayang yang bagaimana?" Kak Yara melepaskan peluknya, seketika hilang hangat dan damai yang kurasakan.
Aku diam, dan menunduk, menggeleng dan berkata dalam hati 'mungkin Kak Yara tak perlu tahu, jelas ini adalah sebuah kesalahan. aku Ardi berjanji akan memperbaikinya, akan kubalas semua pengorbanan dan sayangnya. Dari seorang adik untuk kakaknya bukan dari seorang yang egois memperjuangkan cinta terlarangnya. Kak Yara, maafkan aku. Love You...'