Sebaliknya, "Her" mengambil latar di masa depan dengan teknologi yang canggih namun menciptakan jarak emosional antara manusia. Theodore, meskipun hidup di dunia yang sangat terhubung, merasa sangat kesepian setelah perceraiannya. Hubungannya dengan Samantha, sebuah entitas non-fisik, menyoroti bagaimana teknologi bisa menjadi pedang bermata dua, memperkuat kesepian sekaligus menyediakan bentuk koneksi baru.
Gaya Visual dan Atmosfer
Kedua film ini juga memiliki gaya visual yang khas yang mencerminkan suasana hati dan tema yang mereka eksplorasi.
Sofia Coppola menggunakan sinematografi yang lembut dan pemandangan kota Tokyo yang indah namun asing untuk menggambarkan isolasi dan keindahan kesepian dalam "Lost in Translation." Gaya visual ini memperkuat perasaan keterasingan yang dirasakan oleh karakternya.
Spike Jonze dalam "Her" menggunakan palet warna hangat dan suasana futuristik untuk menggambarkan dunia yang secara teknologi maju namun secara emosional terputus. Penggunaan warna dan desain produksi yang hati-hati membantu membangun dunia yang terasa akrab namun asing, mencerminkan perjalanan emosional Theodore.
Kedua film ini, meskipun dibuat dengan jarak waktu sepuluh tahun, menunjukkan keterkaitan yang mendalam baik secara tematis maupun emosional. "Lost in Translation" dan "Her" masing-masing menggambarkan pengalaman kesepian, isolasi, dan pencarian koneksi manusia dalam konteks yang berbeda namun tetap relevan. Hubungan pribadi antara Coppola dan Jonze menambahkan lapisan interpretasi tambahan, di mana kedua film ini bisa dilihat sebagai dialog emosional dan artistik antara dua pembuat film berbakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H