Mari bernostalgia kembali dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Negeri tercinta kita, menjadi keharusan bagi suatu bangsa untuk tahu roda perputaran kehidupan, ialah Sejarah serta peristiwanya. Tetapi, disini Saya akan lebih mengulas tentang pesan yang ada dalam buku Konflik Dan Perdamaian Etnis Di Indonesia oleh Samsu Rizal Panggabean.Â
Ini berawal ketika pada masa OrBa (Orde Baru) sangat sedikit adanya penelitian terkait konflik dan kekerasan etnis di Indonesia. Kenapa? Ya, karena pada masa itu persoalan konflik dan kekerasan etnis termasuk wilayah terlarang. Perkembangan dan perubahan terus terjadi sampai pada masa Reformasi.
Pada masa Reformasi terjadi, kebanyakan mulai muncul penelitian tentang konflik dan kekerasan etnis bahkan sampai pada pencetakan maupun online. Namun, sebagian besar dari penelitian yang dilakukan hanya sebatas menggambarkan alur dan penyebab berdasarkan pada lokasi geografis serta waktu kejadiannya.
Dalam buku ini jika dibaca akan ditemukan metode penelitian yang memasangkan dua kasus hingga berhasil digaris bawahi mengapa satu kondisi bisa menjadi insiden, tetapi tidak di tempat lainnya. Pemilihan studi kasus pun dilakukan dengan mempertimbangkan kemiripan demografi dan kondisi sosial. Itu mengapa Solo dipasangkan dengan Yogyakarta, sedangkan Ambon dengan Manado. Tentu peristiwa yang berkembang diantara perbandingan kota-kota itu berbeda.
Jika di Solo lebih kritis soal pemilah etnis sehingga menyebabkan konflik etnis itu sendiri. Sedangkan di Yogyakarta tidak diperlukan pemilah etnis untuk tercapainya reformasi, ini dikarenakan mekanisme yang digunakan adalah reformasi damai yang tidak lain adalah mengkoordinasi massa dengan kedamaian bukan dengan menggunakan etnis.
Kemudian, antara Ambon dan Manado berkembang pandangan kritis yang terkait dengan garis agama yang mana di Ambon lebih kritis soal diskriminasi dalam hal kontestasi jabatan meskipun Islam-Kristen merasakannya.Â
Akan tetapi berbeda dengan di Manado. Polarisasi yang berkembang di Manado adalah saling melengkapi dan melindungi satu sama lainnya, ini akan dikenal masyarkat dengan sebutan "torang semua basudara". Artinya, perlakukan orang lain selayaknya saudara seperti melindungi maupun saling tolong-menolong (gotong-royong).
Juga, dalam hal kotestasi jabatan di ruang publik Manado tidak terlalu di pusingkan meskipun tetap terjadi, namun tidak mencolok. Ditambah lagi keaktifan pemerintah yang segera melihat isu konflik yang datang dari luar Manado langsung memanggil para tokoh penting baik dari Islam-Kristen untuk berkumpul dalam suatu pertemuan demi membahas solusi dari permasalahan yang ada.
Buku ini juga menyimpulkan bahwa perubahan sentimen antirezim Orde Baru ke sentimen anti-Cina berhasil melahirkan kekerasan di Surakarta. Hal ini terjadi karena diiringi penarikan perlindungan dari aparat keamanan.Â
Di sisi lain, Yogyakarta merespon sentimen itu dengan metode nir-kekerasan dan pelibatan berbagai kalangan dalam  pengelolaan konflik serta koordinasi yang lebih lancar.Â
Di kasus lain, Ambon mengalami ambruknya kehidupan sehari-hari yang diperparah dengan kegagalan dalam menurunkan tensi konflik sehingga terjadi kekerasan Islam-Kristen. Sedangkan di Manado, tekanan direspon dengan nir-kekerasan, yaitu dengan pengendalian batas dan koordinasi antar umat beragama.