Mohon tunggu...
Awy' Ameer Qolawun
Awy' Ameer Qolawun Mohon Tunggu... -

Writer, Staff Coordinator FLP Saudi Arabia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mempertanyakan (Kembali) Eksistensi Pesantren

20 Januari 2012   22:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebelumnya, catatan ini hanya analisa general saja, bukan analisa spesifik atas satu sampel kasus, sebab tentu saja hal itu membutuhkan penelitian lebih, sebagaimana yang kita ketahui.

Sekitar awal tahun 2000, saya pernah menulis sebuah artikel (diterbitkan Majalah SANTRI, edisi Maret 2000, no.35) yang mempertanyakan eksistensi pesantren di abad 21 serta kelangsungan peranannya dalam politik, sosial, dan budaya. Pertanyaan sederhana namun menemukan urgensinya justru seiring dengan berjalannya waktu dan terjadinya perubahan yang sangat frontal dalam tubuh bangsa kita selama 10 tahun terakhir ini.

Bila kita seimbang dan arif dalam memberikan penilaian, siapapun mengetahui dan mengakui fakta sejarah bahwa pesantren mempunyai peranan penting dan kontribusi yang tidak kecil dalam pembangunan dan pembentukan karakter bangsa ini. Bahkan embrio berdirinya Indonesia pun tidak lepas dari peran strategis dunia pesantren saat itu yang total mencurahkan pikiran dan tenaga untuk membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan.

Lepas dari masa lalu, banyak pengamat mengatakan, bahwa pesantren adalah benteng moral terakhir dan terkokoh yang dimiliki bangsa Indonesia, dan kenyataan ini tak bisa dipungkiri oleh siapapun.

Tetapi, melihat kondisi bangsa yang saat ini begitu carut marut dalam semua sisi kehidupan, muncul pertanyaan, apakah keberadaan pesantren saat ini bisa tetap menjadi support system atau dianggap menjadi menghambat perkembangan pola pikir masyarakat modern? Sejauh apa pula peran pesantren dalam menghadapi disintegrasi moral yang semakin gencar dan meluas?

Sementara di satu sisi, pesantren sendiri adalah lembaga pendidikan tradisional yang menawarkan ide pentingnya menjaga moralitas untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang kuat. Karena dengan dasar bangunan moral yang kuat tentu saja bangsa bisa melakukan proses seleksi dan filter terhadap segala macam masuknya kebudayaan baru sebagai efek perkembangan, keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi yang begitu luar biasa saat ini.

Karena doktrinisasi nilai-nilai moral dan keagamaan dalam pesantren pada dasarnya masih cukup efektif untuk membentuk bangunan moral masyarakat yang menjadi benteng utama dalam menghadapi derasnya modernisasi yang kita tahu sarat sekali dengan muatan kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, dan seterusnya.

Namun, tak urung, secara umum terkadang dunia pesantren menghadapi sedikit kebingungan, apakah tetap mempertahankan pola lama, atau melakukan pencangkokan pola baru, atau mengkonvergensikan antar keduanya dalam dunia pendidikan pesantren? Dalam artian menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum?

Muncul banyak sekali dilema dalam satu waktu yang sama. Memang jika kita melihat, secara umum setidaknya ada tiga jenis pesantren di tanah air ini. Pertama, pesantren salaf, yang tetap mempertahankan pola lama dengan tidak memasukkan sama sekali ilmu umum. Kedua, pesantren modern yang menggabungkan ilmu umum dan ilmu agama secara bersama. Ketiga, pesantren salaf yang mengambil beberapa jenis ilmu umum yang sekira dipandang penting sebagai bekal kehidupan.

Khusus untuk kelompok pertama, boleh jadi mereka begitu mendalami ilmu agama dan teks-teks thesaurus dengan begitu baik, tradisi kuno tetap terjaga, namun (jika tidak siap) saat mereka dilepas ke luar, seketika tergagap-gagap dengan kehidupan baru yang begitu berbeda, akibatnya pelan namun pasti mereka termarginalkan dari pentas kehidupan, meski pada dasarnya diam-diam keberadaannya sangat dibutuhkan sebagai alternatif terakhir atas kebingungan.

Kelompok kedua, yang memasukkan pendidikan formal ke dalam pesantren, dari satu sisi cara berpikirnya sangat maju dan mengikuti perkembangan zaman. Namun di sisi lain, nama "Pesantren" pelan namun pasti hanya akan menjadi label saja dan itu ditandai dengan banyaknya pesantren tersebut kehilangan nilai-nilai yang menjadi ciri khasnya. Hal ini terjadi bagi pesantren yang tak mampu melakukan managemen atas pengambilan keputusan merger dengan pendidikan formal. Istilahnya, pondoknya hilang, cuma tinggal nama dan sejarah.

Kelompok ketiga, pendidikan agama masih sangat dominan, tetapi untuk pengetahuan umum mereka cukup tercerahkan dan rata-rata nilai kepesantrenan tetap terjaga dengan baik. Jenis pesantren ini umumnya hanya melakukan persamaan saja dalam ijazah dengan mengambil beberapa mata pelajaran penting semisal Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika yang sama sekali tidak mengganggu sistem pesantren, dan secara berkala mengadakan berbagai macam latihan keterampilan sebagai bekal para santri untuk menempuh kehidupan. Sebutan pesantren model ini biasanya dikenal dengan Pondok Modern.

Namun bagaimanapun, secara umum kenyataan berbicara bahwa saat ini pesantren semakin terdesak dengan makin berkurangnya wali murid yang memasukkan anaknya ke lembaga klasik ini kecuali sebagai alternatif terakhir saat tak diterima di mana-mana, atau sebagai buangan bagi anak yang nakalnya luar biasa. Meski tidak ada ceritanya pesantren gulung tikar sebab kekurangan murid karena pemikiran dasar seorang Kyai (pengasuh pesantren) yang mempunyai prinsip terus mengajar meski hanya satu orang saja.

Akan tetapi melihat kecondongan masyarakat yang lebih suka menyekolahkan anaknya agar dapat ijazah serta gelar yang nantinya dengan itu memiliki pekerjaan tetap sebagai jaminan hidup di masa tua (meski kenyataan tidak selalu seperti yang diharapkan, sebab banyaknya sarjana menganggur); membentuk sebuah kekhawatiran tersendiri bagi masa depan bangsa ini.

Apa jadinya sebuah bangsa jika tak memiliki moral baik? Sementara sistem pendidikan di Indonesia (formal) terlihat sekali lebih mementingkan kualitas pemikiran daripada kualitas moral. Porsi untuk pendidikan moral jelas sekali sangat tidak berimbang, sementara para orang tua (atau anaknya sendiri) enggan melirik pesantren sebab terkadang lebih dulu memberi penilaian negatif dengan meragukan masa depan anak jika masuk pesantren.

Di sisi lain, beberapa pesantren berusaha menjawab "kebutuhan" masyarakat itu dengan mendirikan sekolah-sekolah formal dalam lembaga pesantren. Tetapi fakta menyatakan, pelan namun pasti justru lembaga formal ini yang mempengaruhi pesantren, bukan pesantrennya yang mampu mengontrol lembaga formalnya sehingga yang terjadi adalah kehilangan identitas. Istilahnya, ngaji dengan sekolah, pasti ngajine kalah.

Hal itu tentu saja karena pendidikan formal terikat kurikulum yang harus dipenuhi jika misalkan ingin mendapat ijazah, sementara pesantren tidak mementingkan hal itu. Apalagi di lapangan pekerjaan yang dibutuhkan adalah ijazah formal, bukan ijazah pesantren. Akhirnya tentu saja para "santri" dalam pesantren model ini secara alamiah lebih memprioritaskan sekolahnya daripada ngajinya.

Untuk menyiasati kebijakan penggabungan yang justru berakibat fatal dengan hilangnya identitas pesantren, sepenuhnya tentu kembali kepada kecakapan pengelola pesantren untuk memanage hal itu.

Apapun yang terjadi terhadap bangsa ini, peranan pesantren sama sekali tidak bisa dikesampingkan, di samping ia adalah budaya pendidikan asli bangsa Indonesia yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Meski untuk saat ini pesantren masih terus dalam proses untuk menemukan formulasi yang pas demi mengikuti perubahan zaman. Walau pada dasarnya, dalam tubuhnya sendiri pesantren tidak mengalami apapun, karena sudah patennya sistem tarbiyah, ta'dib, ta'lim dan tadris yang dikembangkan pesantren sejak awal lembaga ini ada di tanah air.

Sebenarnya di sana masih ada beberapa ancaman untuk eksistensi masa depan pesantren, yang justru datang dari dalam, namun akan kita bahas di kesempatan lain, yaitu fenomena baru kecenderungan generasi penerus pesantren (para Gus dan Neng) yang lebih memilih kuliah di perguruan tinggi formal untuk target ijazah daripada tafaqquh fid din sebagaimana para pendahulunya, dan "tercemarnya" keorisinilan tarbiyah yang mereka terima sebab belajar di luar lingkup pesantren dan jauh dari pantauan orang tua. Wallahu a'lam (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun