Abdurrohman Hatim bin Yusuf bin Ulwan (hidup sekitar abad 2 H atau 8 M) adalah salah satu tokoh besar dalam dunia tasawwuf. Kita kerap mendengarnya dengan nama Hatim Al-ashom, atau si Hatim yang tuli.
Lalu kenapa dia dijuluki tuli? Ada cerita indah dan pelajaran kehidupan besar tentang ini.
Seperti biasa, keseharian Hatim adalah bekerja di toko sebagai pedagang. Suatu hari tokonya kedatangan pembeli, seorang gadis cantik.
Pas saat gadis itu asyik menawar, tiba-tiba gadis tadi mengeluarkan angin, kentut, bersuara lagi !
Tentu saja seketika wajah ayunya berubah pias pucat pasi menahan malu yang tak alang kepalang. Namun Hatim tanggap dengan perubahan itu, segera dia balik bertanya seraya mengeraskan suara, "maaf anakku, mau beli apa? Keraskan bicaranya, bapak tidak dengar", sambil sedikit menelengkan kepalanya.
Seketika legalah hati gadis tadi, dia mengira Hatim tuli (mungkin dalam hatinya, *huft, selamet, selamet, ternyata bolot dia, ga kedenger dund kentut merduku tadi*).
Dan sejak itu, Hatim terkenal dengan julukan Al-ashom. Si Tuli.
@ @ @
Yang perlu kita ambil pelajaran adalah Lihat bagaimana toleransi dan cara beliau menjaga perasaan orang lain. Harus kita akui, kerap kita bertindak mendahulukan ego tanpa menjaga perasaan umum.
Sikap menjaga perasaan ini harus lebih kita praktekkan lagi saat melihat teman kita terjebak pada posisi sulit yang menjual air muka malu. Semisal kesalahannya terbongkar. Maka tentu tak bijak jika kita ikut mengecamnya misalkan.
Salah satu sikap seorang leader yang baik adalah, berpura-pura tidak tahu dengan kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan bawahan. Namun bukan berarti menutup mata, tetapi berusaha membenahinya dengan tanpa bawahan itu terasa bahwa sedang ada pembenahan di sana. Meski terkadang gara-gara itu kita dianggap bodoh. Seperti yang dialami Hatim tadi.