Seminggu berlau setelah aksi 4 November (411), publik dijanjikan bahwa kasus Ahok “selesai” dalam waktu dua minggu, artinya tersisa waktu seminggu lagi bagi aparat polisi untuk merealisasikan janji tersebut. Disisi lain Habib Rizieq sebagai koordinator dan ketua pembina Aksi 4 November akan mengancam melakukan aksi lagi pada tanggal 25 November jika pemerintah tidak juga memproses kasus Ahok.
Mereka menghendaki agar pemerintah berlaku adil terhadap kasus tersebut. Namun masalahnya adil menurut pemerintah berbeda dengan adil menurut kelompok pendemo. Bagi para pendemo ‘Adil’ dalam kasus Ahok adalah jika sang Gubernur ditangkap dan dipenjarakan. Hal ini tersirat dalam ucapan KAPOLRI, Jendral Polisi Tito Karnavian di ILC, bahwa para utusan aksi 4 November datang ke Istana Presiden saat demo dan meminta polisi segera menangkap Ahok saat itu juga. Sedangkan ‘adil’ menurut aparat polisi adalah melalui proses hukum, artinya jika terbukti bersalah Ahok akan dipenjara tapi sebaliknya jika tidak terbukti bersalah Ahok tidak layak masuk penjara.
Dilemanya adalah mendefinisikan kata KEADILAN dari dua kubu tersebut. Jelas bahwa keadilan yang diminta para pendemo adalah PENJARA. Tidak perduli seperti apa definisi keadilan menurut KAPOLRI, yang jelas Ahok itu penista agama dan harus dipenjara. Sementara bagi polisi bukan hanya bersalah, tapi jika Ahok terbukti tidak bersalah pun, kemudian bebas, itu juga merupakan KEADILAN.
Hal ini yang kemudian memunculkan kecurigaan bahwa Jokowi berusaha melindungi Ahok. Apalagi sebelumnya KAPOLRI mengungkapkan bahwa Ahok tidak bermaksud menistakan agama, sehingga semakin menguatkan kecurigaan dari kalangan mereka.
Kini seminggu sudah berlalu sejak peristiwa tersebut, kelanjutan kasus Ahok pun masih “misteri”. Kelompok Aksi 4 November khususnya para “aktor” dibelakangnya sedang berharap cemas. Keputusan apa yang akan dijatuhkan kepada Ahok? Sementara kekhawatiran akan bebasnya Ahok menyeruak menyentuh rasa ketidak percayaan. Habib Rizieq meminta agar segera dilakukan gelar perkara. Pun demikian dengan permintaan “para aktor” yang lainnya. Bahkan Habib Rizieq mengancam akan melawan jika kasus Ahok tidak tuntas.
Jokowi mengabulkan permintaan sang Habib. Ia meminta KAPOLRI segera meyelesaikan kasus Ahok dan menyuruh sang Jendral untuk membuka gelar perkaranya secara live. Sontak seruan tersebut membuat dalang dan para aktor dibalik demo 411 gelagapan. Mereka tidak menduga akan seperti itu reaksinya.
Bak laron di musim hujan, orang-orang ini mulai bermunculan, satu per-satu dari mereka mengungkapkan keberatannya. Alasannya bahwa hal tersebut menyalahi aturan, juga tidak etis dan dapat membuat kekacauan serta keresahan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan ada yang beralasan bahwa tindakan tersebut dapat mengadu domba antar umat Islam, dan antar umat beragama.
Jokowi melalui KAPOLRI menegaskan bahwa tujuan live adalah agar masyarakat luas dapat mengikuti kasus tersebut secara transparan serta meyakinkan kepada rakyat jika tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya.
Sebenarnya Ahok hanya tertimpa “sial” dari sekenario besar yang dirancang para aktor untuk melemahkan pemerintahan Jokowi. Apa buktinya? Banyak sekali, contohnya orasi Fahri Hamzah yang mengatakan Jokowi bisa dijatuhkan dengan dua cara yaitu Parlemen Ruangan dan Parlemen Jalanan.
Kemudian orasi Ahmad Dhani yang jelas-jelas menghina presiden dengan menyebutnya anj*ng. Belum lagi ancaman petinggi demokrat, Syarief Hasan, yang akan memakzulkan Jokowi karena mengatakan bahwa ada aktor politik dibalik demo 4 November. Ditambah dengan ucapan Fadzli Zhon, BamSoet, SBY dan masih banyak lagi, dan semuanya mengarah kepada muara yang sama yaitu Jokowi.
Sekali lagi bahwa Ahok hanya tertimpa sial. Kenapa? Karena pertama, Ahok “sial” telah mendukung Jikowi jadi presiden dan meninggalkan partai gerindra yang sebelumnya menjadi kendaraan politiknya. Padahal saat itu bos partainya juga maju dan mencalonkan diri sebagai presiden.