Mohon tunggu...
Adrian Wonoto
Adrian Wonoto Mohon Tunggu... -

Seseorang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Angka Quick Count Berubah Cepat?

12 Juli 2014   07:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:35 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda, penghuni netizen dan Kompasianers, mendengar tudingan dari pendukung Prabowo mengenai keanehan Quick Count yang dilaporkan di Metro TV atau media lainnya yang menggunakan lembaga survei non-Vivanews/TVOne, kalau ada kejanggalan saat pelaporan Quick Count awal? Atau mungkin anda pendukung Prabowo yang melemparkan tudingannya?

Tudingan apa yang saya maksud? Saya membaca beberapa versi dari tudingan ini, tapi kira-kira begini bunyinya: Hasil pelaporan Quick Count saat awal-awal sangat aneh. Misalnya pada saat pelaporan suara 10% Prabowo unggul 51% dan Jokowi tertinggal 49%. Tiba-tiba, setelah jeda, ada pelaporan suara menjadi 14% dan Jokowi unggul 51% dan Prabowo yang tertinggal 49%. Mulailah teriakan kejanggalan dan kecurangan dikumandangkan di dunia Internet.

Jadi, apakah benar terjadi kejanggalan? Apakah ada kecurangan dalam pelaporan Quick Count?

Tidak. Yang menjadi kunci disini adalah jumlah suara yang sudah dilaporkan yang masih rendah, yaitu 10%. Tentu, angka diatas hanyalah ilustrasi yang mendekati apa yang menjadi tudingan. Jadi, kalau jumlah suara masih rendah, mudahkah posisi Quick Count berubah?

Sekarang saya akan berikan ilustrasi yang sedikit berbeda, karena masalah ini sebenarnya bukan masalah sulit yang perlu pengertian statistik. Sebenarnya sedikit aritmetika sederhana bisa menjelaskan sumber kejanggalan. Saya akan memberi ilustasi mengendarai mobil menuju ke suatu tempat.

Ilustrasi Mobil

Misalnya saya ingin pergi ke tempat A yang berjarak 100 km. Saya juga ingin tahu, berapa rata-rata kecepatan saya selama perjalanan. Dan rata-rata ini akan saya laporkan berkala selama perjalanan.

Kecepatan sendiri adalah potret sesaat; angka di speedometer menunjukan seberapa cepat saya berkendara saat saya melihat angka tersebut. Tapi angka itu bukan rata-rata. Saya perlu tahu berapa jarak tempuh yang sudah saya lewati dan berapa waktu yang sudah berlalu untuk mendapatkan rata-rata.

Jadi andaikan dalam 8 km pertama perjalanan saya, setelah sempat mengebut sedikit dan terkadang melambat, saya memakan waktu 12 menit. Berarti selama saya menempuh 8 km dalam perjalanan awal saya, rata-rata kecepatan saya adalah 40 km/jam.

Lalu tiba-tiba, terjadi kemacetan didepan. Memang kota ini selalu macet pada jam-jam tertentu. Dengan segala kesusahan, setelah mendengarkan lengkap album Metallica, saya melewati 2 km yang penuh kemacetan dalam waktu 48 menit.

Artinya, kecepatan rata-rata saya dalam 2 km tersebut adalah 2,5 km/jam. Menyebalkan sekali memang. Tapi itu hanya kecepatan rata-rata dalam 2 km kemacetan. Bagaimana dengan rata-rata perjalanan saya sejauh ini yang sudah melewati 10 km?

Sebelum saya menemui kemacetan di kilometer 8, rata-rata kecepatan saya adalah 40 km/jam. Sekarang, saat saya di kilometer 10, rata-rata kecepatan saya selama perjalanan adalah 10 km dibagi dengan 12 menit saat saya meluncur di 8 km pertama, dan 48 menit saat saya stress di 2 km berikut, yaitu total 60 menit atau 1 jam. Jadi rata-rata kecepatan selama 10 km adalah 10 km/jam.

Fantastis bukan perubahan rata-rata kecepatan perjalanan saya? Dari saat 8 km dilalui dimana rata-rata kecepatan adalah 40 km/jam, tiba-tiba setelah 10 km lewat rata-rata kecepatan saya menjadi 10 km/jam. Memang perubahan yang cukup drastis.

Tapi sekarang coba kita buat skenario lain di perjalanan 100 km saya. Sekarang, saya berkendara di kota saat libur Lebaran. Sungguh lengang! Saya berkendara 98 km tanpa ada hambatan dimana-mana. Tapi yah tidak terlalu mengebut juga. Jadi selama 98 km itu, saya berkendara dengan rata-rata kecepatan 40 km/jam - artinya sudah 2 jam dan 45 menit berlalu. Tapi tiba-tiba, di 2 km terakhir, ada kemacetan juga; ada perbaikan jalan besar. Menunggulah saya di kemacetan selama 48 menit sampai akhirnya 2 km saya lewati sampai tujuan.

Jadi, pasti rata-rata kecepatan saya turun. Tapi turun seberapa banyak? Dalam 100 km itu, waktu total adalah 3 jam dan 33 menit. Artinya, rata-rata kecepatan menjadi 28 km/jam.

Jadi kita lihat, walaupun dengan kemacetan yang sama, yaitu 2 km dalam 48 menit, perubahan rata-rata lebih dratis saat baru 8 km saya lampaui, yaitu dari 40km/jam menjadi 10 km/jam. Bandingkan dengan saat 98 km sudah dilampau, dimana rata-rata saya 40 km/jam menjadi 28 km/jam.

Artinya, memang hasil rata-rata itu lebih mudah berubah saat masukan data masih awal. Saat data masuk sudah makin banyak, maka makin sulitlah hasil rata-rata itu berubah.

Quick Count

Jadi misalkan di skenario Quick Count (QC) diatas. Kita berandai (hanya ilustrasi saja) ada 1000 data suara di QC yang dilaporkan. Pada saat 10% data tersebut dilaporkan (100 suara), 51% suara ada untuk Prabowo, dan 49% suara ada untuk Jokowi. Lalu setelah 4% tambahan data dilaporkan (menjadi 140 suara), berubah menjadi 49% suara untuk Prabowo dan 51% suara untuk Jokowi.

Apakah bisa 40 suara tambahan mengubah kedudukan? Kalau masih dalam batas kewajaran bisa saja. 49% dari 140 suara adalah 69 suara dan 51% dari 140 suara adalah 71 suara. Artinya, dalam tambahan 40 data tersebut, Prabowo mendapatkan 69-51 = 18 suara dan Jokowi mendapatkan 22 suara. 18 banding 22 adalah 45% banding 55%.

45% dan 55% adalah angka lumrah yang sering ditemukan dalam laporan propinsi-propinsi. Bisa saja tambahan data 4% tersebut adalah dari lumbung suara Jokowi, di Jawa Tengah atau Jawa Timur misalnya. Bahkan di Jawa Barat, sebaran angka adalah 60% untuk Prabowo dan 40% untuk Jokowi (menurut 7 survei kredibel, tentunya).

Jadi tidak ada yang aneh sama sekali kalau ada perubahan hasil QC yang lumayan drastis di awal-awal pengumpulan data. Yang aneh adalah kalau perubahan hasil QC drastis terjadi saat pengumpulan data akhir.

Misalnya sudah terkumpul 96% data, dan, hanya untuk ilustrasi, Jokowi sudah mendapat 51% suara dan Prabowo mendapat 49%. Tiba tiba setelah 100% terkumpul, hasil QC Jokowi malah menjadi 49% dan Prabowo mendapat 51% suara.

Artinya, di ilustrasi 1000 data ini, saat 960 data terkumpul, 490 suara untuk Jokowi dan 470 suara untuk Prabowo. Supaya hasil QC bisa berubah saat 1000 data terkumpul seperti diatas, suara Jokowi tidak bertambah satupun dan 40 data tambahan semuanya adalah untuk Prabowo sehingga total suara adalah 490 Jokowi dan 510 Prabowo (49% - 51%).

Nah, jelas ini janggal. Daerah mana yang ada suara untuk Jokowi 0%? Bahkan Sumatra Barat saja masih sekitar 85% Prabowo dan 15% Jokowi. Dan apa iya sisa 40 data tambahan itu semuanya dari lumbung suara super Prabowo?

Seperti contoh berkendara diatas, misalnya sudah 10 km saya berkendara, 12 menit berlalu dan rata-rata kecepatan 40 km/jam. Saya ingin tiba di km 100 dengan rata-rata kecepatan 100 km/jam, atau total perjalanan 1 jam saja. Artinya saya harus menempuh 90 km dalam waktu 48 menit, atau dengan kecepatan 112.5 km/jam di 90 km terakhir. Masih terdengar normal bukan?

Tapi coba kita "tambahkan data"; saya sudah berkendara 30 km, 45 menit berlalu dan kecepatan rata-rata 40 km/jam. Saya ingin tiba di km 100 dengan rata-rata kecepatan 100 km/jam, atau total perjalanan 1 jam saja. Artinya saya harus menempuh 70 km dalam 15 menit, atau dengan kecepatan 280 km/jam. Wah, apa mungkin bisa di jalan tol Indonesia? Mobil apa yang harus saya pakai, Lamborghini Gallardo?

Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa perubahan hasil QC terlihat janggal dan aneh saat awal-awal pelaporan, sebenarnya tidak. Tidak ada yang aneh - ini hanya masalah aritmetika sepele, bukan ilmu statistik sulit. Kalau ada perubahan drastis saat pengumpulan data sudah tinggi, barulah kita bisa mencurigai adanya kejanggalan, dan sedikit penghitungan di kertas dan menggunakan kalkulator bisa mengungkap kejanggalan. Penjelasan ini juga berhubungan dengan pertanyaan mengapa kubu Jokowi berani mendeklarasikan kemenangan setelah 80% data QC terkumpul - sulit untuk mengubah posisi saat pengumpulan data sudah sebanyak itu.

Tentu saja, ini semua dengan catatan bahwa kita berbicara mengenai lembaga survei yang peduli akan keakuratan data yang mereka pakai....

Baca juga:
Survei, Quick Count, dan Siapa Yang Menang

Mengapa Jokowi Cepat Deklarasikan Kemenangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun