meritokrasi – kaderisasi Partai politik melawan nepotisme dalam demokrasi
kekuasaan dalam era otonomi daerah tidak lagi menjadi pokok bahasan yang kaku layaknya ekslusifitas kekuasaan pada era orde baru. Begitu banyak UU yang dilahirkan guna menjamin terbangunnya partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan era otonomi. Harapan besar terbangunnya distribusi politik dalam mekanisme demokratis menjadi supervise kebangsaan melahirkan negara berkeadilan social.
Kini politik dinasti menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan demokrasi otonomi daerah. Timbulnya kolega kolega kekuasan dalam partai politik sampai pada kolega struktural pada wilayah pemangku kepentingan public pun tak terhindarkan. Meski tidak sepi dari cemoohan awam tapi selalu terasa reaksioner bagi para pengkritik demokrasi untuk bicara lantang menganalisis tabiat lama orde baru ini.
Berbicara kekuasaan tentu harus berbicara partai politik sebagai mesin politik terlazim di era reformasi hari ini. Partai politik pada hari telah menjadi sebagai salah satu kendaraan utama dalam proses perolehan kekuasaan politik, baik di legislatif maupun eksekutif di daerah. Secara normatif tentunya juga tidak mendukung berlangsungnya eksistensi politik dinasti. Meskipun kesan toleransi yang berlebihan untuk langgenganya politik dinasti sangat ketara di beberapa partai besar khususnya.Â
Tak jarang pula asumsi yang berkembang di masyarakat tentang hebatnya keluarga ABCD di partai ABCD pun memberikan justifikasi bahwa kaderisasi politik telah menjadi suatu yang absurd serta doktrin yang mengisyaratkan bahwa meskipun tidak ada pintu partai yang tertutup untuk partisan namun tidak mudah untuk meraih posisi strategis dalam partai politik apalagi posisi strategis jabatan publik apabila partisan tersebut bukan trah dari faksi-faksi yang eksklusif baik atas hubungan kekerabatan, darah maupun bisnis didalam ruang elite partai politik.Â
Di perparah dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah meruntuhkan harapan untuk mengatur praktik dinasti politik dalam penyelenggaraan Pilkada. Pembacaan putusan yang dilaksanakan pada 8 Juli 2015 yang lalu, tentu saja kontra produktif dengan semangat untuk membangun sistem pencalonan kepala daerah yang lebih fair, seimbang, dan demokratis.
Hal ini menjadi lebih sensitif ketika terjadi conflict of interest dalam sebuah aktualisasi peran publik namun berlawanan dengan kepentingan kekerabatan, yang sekali lagi selama ini telah mengkerdilkan kepercayaan politik masyarakat. Alhasil menjamurnya politik dinasti ini memotivasi para politikus amatiran berlogika terbalik, yaitu bahwa prioritas kedekatan dan kekerabatan lebih penting dari sebuah proses aktifitas organisir politik di basis basis massa.
Pada Pasal 18 ayat 4 UUD 45  terdapat makna penting yang terlupakan, bahwa warga negara berhak atas pilkada yang demokratis. Dalam konteks ini partai politik dirasa telah jauh dari konteksnya sebagai wadah mapan sebagai ruang kompromi masyarakat demokratis, sebagai representation of idea dan lembaga yang mengutamakan legitimasi public, banyak hal yang membuat tereduksinya peran partai politik ini diantaranya jatuhnya mandat struktural yang  seringkali hanya buah dari loby-loby atas negosiasi negosiasi binis dan kekerabatan. Hal ini dengn cepat membuat partai politik tidak lagi dirasa inklusif dan terbuka bagi semua.Â
Dari hal ini atensi pada purifikasi peran meritokrasi dan kaderisasi partai politik tidak kalah penting dari pendidikan pendidikan politik yang diberikan dalam bangku-bangku lembaga eduksi formal serupa perguruan tinggi, maupun motivasi peran kontrol masyarakat dalam mengawal demokrasi. Partai politik sebagai jembatan politik harus mengembalikan jati dirinya sebagai sekolah politik masyarakat, sebagai lembaga perkaderan dan penyalur aspirasi dan perjuangan politik  masyarakat.Â
Tidak lagi terus menerus menjadi gerbong hegemoni kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Penegakan mekanisme rekrutmen dan perkaderan yang demokratis dan menyandarkan pada meritokrasi akan meredam kuatnya influence figur untuk memonopoli kekuasaan dalam bentuk dinasti .Â
Meritokrasi yang selalu berorientasi pada penghargaan atas prestasi dan kapabilitas dikombinasikan dengan kaderisasi yang syarat dengan tugas-tugas dalam penguatan karakteristik kader partai akan menjadi suatu komposisi yang cukup untuk melawan hegemoni pragmatism invasi para pelaku politik dinasti.Â