Mohon tunggu...
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Epidemiologis. Sanitarian. "Mediocre".

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Belajar dari Pusat Pemulihan Gizi Buruk Losari

20 Oktober 2012   15:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:35 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Percepatan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) dirasa sangat mendesak, terutama untuk sektor kesehatan. Beberapa keberhasilan di sektor kesehatan memang telah dicapai antara lain, prevalensi anak-anak balita dengan berat badan di bawah normal telah berkurang hampir setengahnya dari 31% pada tahun 1989 menjadi 18,4% pada tahun 2007. Walaupun sebenarnya harus lebih bekerja keras lagi, karena target pada tahun 2010 ini sebesar 15,5%. Penanganan terhadap gizi buruk pada bayi dan balita menjadi sangat penting, mengingat kontribusi status gizi buruk memungkinkan terjadinya kematian pada bayi dan balita.

Penurunan angka kematian bayi dan balita juga merupakan target MDGs. Target angka kematian anak di bawah umur lima tahun yang harus dicapai pada tahun 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Sebuah perjuangan yang cukup berat, mengingat pencapaian angka kematian anak tersebut baru mencapai 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.

Mendongkrak target MDGs bukanlah hal gampang, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mengedepankan kerja kreasi bukan birokrasi. Tidak mudah memang menumbuhkan jenis kepemimpinan seperti ini, yang mampu menerobos kebuntuan birokrasi. Di sisi lain harus pandai memilih program apa saja yang mampu mendongkrak target MDGs tersebut.

Sekedar contoh, belajarlah dari Puskesmas Losari Kabupaten Brebes yang berhasil mengembangkan Pusat Pemulihan Gizi Buruk atau Therapeutic Feeding Centre (TFC) Tunas Bangsa. Pahitnya berita mengenai “nasi aking” yang dikonsumsi warga binaannya dan ditemukannya anak dengan gizi buruk, membuat dr. Liliana sebagai pimpinan puskesmas, mesti berpikir keras untuk menuntaskan permasalahan ini. Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka pimpinan beserta staf puskesmas memutuskan untuk menggagas dibentuknya TFC Tunas Bangsa.

Tidak ada dana operasional sepeser pun ketika program akan dimulai, pada bulan April 2008. Dana dihimpun melalui karyawan puskesmas dengan menyisihkan sedikit pendapatan mereka ketika menerima berbagai macam insentif, seperti gaji ke 13, tunjangan penghasilan maupun dari para pengunjung puskesmas. Disediakan kotak untuk menampung dana tersebut. Dalam perjalanannya, sempat kotak berisi uang tersebut “digondol maling”, sebuah romantika perjuangan pun mewarnai perjalanan keberhasilan program ini.

TFC dalam seminggu dibuka setiap hari Jum’at dan Sabtu. Setiap bayi dan balita gizi buruk diperiksa secara rutin seminggu sekali, kemudian diberikan makanan tambahan berupa susu, bubur susu, maupun biskuit. Sedangkan ibu hamil yang kekurangan energi kronis (KEK), yang tentu saja akan berpengaruh terhadap status gizi bayi yang akan dilahirkannya, setiap bulan diperiksa kadar haemoglobin (Hb). Terhadap para ibu ini diberikan susu seminggu sekali.

Penemuan kasus gizi buruk dilakukan oleh para bidan yang tersebar di desa yang berada di wilayah kerja puskesmas. Tidak jarang tokoh masyarakat maupun warga setempat melaporkan adanya kasus gizi buruk. Terkadang bagi warga yang berhasil menemukan kasus gizi buruk, diberikan insentif sekedarnya. Saat ini TFC pun menerima rujukan kasus gizi buruk dari luar wilayah kerja Puskesmas Losari. Bahkan beberapa rumah sakit sudah mulai menerapkan pola-pola yang dilakukan oleh TFC dalam menangani kasus gizi buruk.

Tidak semua kasus gizi buruk dapat tertangani dengan baik, banyak permasalahan yang mesti dituntaskan. Ternyata penanganan kasus gizi buruk tidak sekedar memberikan makanan tambahan saja, tetapi menjadi kompleks permasalahannya ketika ditemukannya faktor-faktor penyulit lainnya. Diperlukan jejaring yang kuat dengan rumah sakit, sehingga dapat mendatangkan dokter spesialis secara berkala untuk mengatasi masalah-masalah penyulit yang kompleks tersebut.

Sampai saat ini, TFC dalam memenuhi kebutuhan operasional, masih mengandalkan uluran tangan para karyawan untuk menyisihkan sebagian pendapatannya maupun pengunjung puskesmas. Padahal, klinik ini mempunyai reputasi nasional sekaligus prospek yang menjanjikan, paling tidak sudah beberapa daerah dari luar Brebes yang berkunjung untuk mengadopsi bagaimana caranya menangani kasus gizi buruk di luar “mainstream” yang telah digariskan dari atas. Diperlukan komitmen yang jelas dari berbagai pihak untuk memajukan klinik ini, sehingga mampu mendorong tumbuhnya terobosan-terobosan baru sebagai bentuk rencana aksi daerah dalam mempercepat target MDGs.

Permasalahan yang lain, kita tidak terbiasa mengapresiasi dan menghargai terhadap kerja-kerja kreatif seperti ini. Kita terpola lebih asyik mengerjakan hal-hal yang bersifat rutin saja. Harus sesuai birokrasi, tidak berani berbeda dalam menangani masalah. Terbukti, pekerjaan rutin yang kita lakukan selama ini, tidak menghasilkan apa-apa. Pembelajaran dari TFC Tunas Bangsa di Puskesmas Losari Kabupaten Brebes mampu membuktikan bahwa dengan biaya yang murah melalui program yang sangat sederhana pun mampu mengatasi masalah tanpa harus menunggu bantuan konsultan yang mahal atau kucuran dana dari negara asing sekali pun. Saat ini, berkreasi menjadi sangat penting. Karena boleh jadi, rutinitas akan membunuh ide-ide cemerlang kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun