Mohon tunggu...
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Epidemiologis. Sanitarian. "Mediocre".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

66 Tahun, Menjadi Indonesia, Menjadi Terpuruk?

17 Agustus 2011   04:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:42 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Enam puluh enam tahun merdeka, bukan justru menjadi Indonesia yang dicita-citakan, tetapi menjauh, bahkan ada sinyal menuju ke arah keterpurukan. Kasus-kasus yang membelit negara ini tidak pernah tuntas terselesaikan. Keberhasilan pemerintah dalam membangun bangsa ini, tertelan habis oleh isu-isu besar, seperti skandal Bank Century, tewasnya aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Munir, kasus suap Miranda Goeltom, pengemplangan pajak Gayus Tambunan, dan berbagai persoalan bangsa lainnya, sebut saja kebebasan beragama yang menimpa Ahmadiyah. Belum lagi masalah kemiskinan, sepertinya sangat kuat melekat sebagai “stigma” untuk bangsa Indonesia.

Gegernya para kader Partai Demokrat “mencaplok” proyek-proyek besar yang didanai APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara), meskipun memang harus segera dibuktikan kebenarannya secara hukum, menjadi isu paling mutakhir bangsa ini. Paling tidak, karena PD memenangi pemilu sekaligus sebagi partai pemerintah yang berkuasa. Mantan Bendahara Umum PD, Muhammad Nazaruddin, menjadi kambing hitam walaupun menyebut beberapa nama elit PD ke dalam pusaran korupsi yang sistemik. Sangat mustahil Nazaruddin sebagai aktor tunggal. Masalah ini juga yang disinyalir beberapa kalangan, seandainya sinyalemen Nazaruddin benar, akan meluluhlantakkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Elit akan tersandera, yang pada gilirannya menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat.

Betapa Indonesia adalah negara dengan aroma kekerasan yang sangat menusuk. Melawan, habis! Itu pula yang menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap Nazaruddin. Walaupun belum tentu benar terhadap semua fakta yang telah dibeberkan Nazaruddin. Tetapi, ada kemungkinan tindak kekerasan, intimidasi, maupun intervensi kelak akan menimpa Nazaruddin, karena secara empiris kerap terjadi terhadap para aktivis, seperti Munir dan yang lainnya.

Tewasnya Munir pada 7 September 2004 di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974, dalam perjalanannya menuju Amsterdam untuk menempuh pendidikan pascasarjana, masih merupakan tanda tanya besar. Hasil otopsi Institut Forensik Belanda (NFI) menunjukkan bahwa, Munir tewas akibat racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal.

Peristiwa tewasnya Munir tentu saja menghantui Nazaruddin dalam melewati hari-harinya kini. Sebuah pertaruhan yang menakutkan, karena melibatkan nyawa, hanya untuk menyelamatkan segelintir elit yang rakus. Itu pun jika nyanyian Nazaruddin benar! Rekayasa kasus Nazaruddin pun adalah sebuah keniscayaan. Nyanyian “sumbang” Nazaruddin menghantam “harmonisasi nada-nada” yang telah dijalin dengan indah antara para elit PD maupun kemungkinan keterlibatan elit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para perencana anggaran di DPR, maupun kementerian terkait menjadi sedemikian “minor”. Terhentinya kasus hanya sampai pada Nazaruddin, sangat mungkin terjadi, sehingga dibutuhkan kerja keras untuk membungkam kebenaran. Sekali lagi, seandainya fakta yang dibeberkan Nazaruddin memang benar adanya. Tidak masuk akal juga, jika Nazaruddin melakukan tindakan korupsi sendirian, tidak mungkin dilakukan tanpa melalui sistem. Nazaruddin hanyalah sebuah komponen dari keseluruhan komponen yang menjalankan sistem. Nazaruddin tidak sendirian.

Kekhawatiran masyarakat terhadap Nazaruddin akan perlakuan pemutarbalikkan fakta menjadi semakin menjadi. Rancangan skenario kemungkinan telah disiapkan, menjadi sebuah tontonan “opera sabun” yang mudah ditebak akhirnya. Barang bukti di dalam tas hitam menuai berbagai macam spekulasi, penerbangan yang relatif lama menjadi pertanyaan serius, pemeriksaan tanpa didampingi pengacara menjadi buah bibir, maupun kekonyolan lain, diperlihatkan tanpa rasa dosa.

Hari-hari Nazaruddin ke depan penuh dengan ketidakpastian. Nazaruddin tidak tahu persis akan dibawa kemana akhir cerita ini. Tetapi yang jelas, memori yang terekam dalam otak maupun dalam bentuk perangkat digital akan dibuat terhapus, terhisap ke selokan sekaligus dibungkam, kemudian nurani diisi ulang dengan kebohongan publik, tak ada siapa-siapa kecuali dua pihak, Nazaruddin dan penguasa yang culas.

Apakah kemudian ketidakpastian akan berbagai masalah yang tanpa ujung menyurutkan rasa nasionalisme? Nasionalisme anak-anak muda Indonesia yang selama ini oleh beberapa pihak sangat dikhawatirkan sebenarnya adalah ketakutan yang tidak mendasar. Mereka dengan caranya sendiri menyuarakan nasionalisme dalam bentuk cacian, yang sejatinya masih sangat bangga dengan Indonesia. Misalnya dituangkan dalam bentuk kata-kata yang tertulis di kaos oblong yang sangat cinta Indonesia, seperti Damn! I love Indonesia. Atau, Negara bodoh yang harus kita bela mati-matian! Sebuah ungkapan sinisme akan kecintaan terhadap Indonesia yang sangat realistis.

Titik terendah martabat bangsa Indonesia sekarang ada di sini. Tidak perlu lagi sebenarnya menghitung enam puluh enam tahun kita telah merdeka. Lupakan itu! Segera kita tandai karut marut ini sebagai “titik nol” untuk merebut kemerdekaan Indonesia kembali. Atau membiarkan rakyat menemukan jalannya sendiri. Akankah revolusi bermula dari sini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun