Mohon tunggu...
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam
Awaludin, SKM, M. Kes (Epid) Abdussalam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Epidemiologis. Sanitarian. "Mediocre".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paranoid AIDS!

24 Juni 2011   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:12 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kementerian Kesehatan mencatat, bahwa perkembangan epidemi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sungguh sangat memiriskan. Pada tahun 2004 tercatat penderita AIDS sebesar 2.684 kasus meningkat dengan cepat sebesar 17.699 kasus pada tahun 2009. Sedangkan sampai dengan bulan Juni 2010 sebesar 21.770 kasus. Kecenderugan peningkatan kasus yang sangat fantastis ini akan sulit memenuhi target Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang keenam, yaitu memerangi HIV(Human Immunodeficiency Virus), hanya dengan waktu yang relatif singkat sampai 2015. Sulitnya mencegah laju penyebaran HIV ditengah masyarakat, menjadikan kemungkinan kegagalan di depan mata.

Begitu pula dengan data dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang sangat mengejutkan, sekaligus mempertanyakan “sudah tepatkah jalur yang telah kita tempuh selama ini dalam memerangi HIV?”. Ternyata, hanya sebesar 44,4% penduduk yang sudah pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Sementara hanya sebesar 13,9% di antaranya berpengetahuan benar tentang penularan HIV/AIDS dan hanya sebesar 49,3% berpengetahuan benar tentang pencegahan HIV/AIDS.

Maka, benar saja jika banyak korban berjatuhan menimpa individu yang sebenarnya justru tidak melakukan perilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV, sebut saja misalnya, para ibu rumahtangga, bayi maupun balita. Ketidaktahuan akan cara penularan dan pencegahan HIV menjadi penyebabnya. HIV sudah mengintip dari balik bilik-bilik pribadi kita.

Upaya promotif dan preventif

Pendekatan terhadap penanggulangan HIV saat ini lebih menonjolkan sisi kuratif, hanya mengobati yang sakit dan akan mati, perlu dikajiulang. Seharusnya kita lebih berorientasi kepada upaya-upaya promotif dan preventif terhadap individu, keluarga, maupun komunitas yang justru masih sehat. Kelompok ini justru terabaikan, apalagi dengan tingkat informasi tentang HIV yang sangat sedikit, akan sangat rentan terhadap infeksi HIV.

Penyakit hanyalah sebuah“produk akibat” yang berada jauh di “hilir”. Namun, sebagian besar upaya pelayanan kesehatan berada pada tahap ini. Sementara faktor-faktor risiko penyakit sebagai “produk penyebab” yang berada jauh di “hulu”, dan bukan hanya merupakan tanggung jawab sektor kesehatan saja, belum tersentuh dengan baik. Fenomena ini juga terjadi pada pola penanggulangan epidemi HIV. Upaya-upaya lebih diprioritaskan pada kelompok masyarakat yang menderita HIV, seperti membangun Klinik VCT(Voluntary Counselling and Testing), pengobatan dan perawatan penderita, maupun pengadaan obat antivirus.

Celakanya, inovasi atau terobosan upaya-upaya promotif dan preventif bagi kelompok masyarakat yang sehat, seperti misalnya, program penyuluhan tentang cara penularan dan pencegahan HIV maupun PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) atau program-progran yang lain, belum tampak menggembirakan hasilnya. Menyebarluaskan informasi yang berhubungan dengan cara penularan dan pencegahan HIV seharusnya menjadi agenda yang lebih penting, di samping penanganan terhadap penderita yang positip HIV.

Tidak akan menghentikan laju epidemi HIV jika hanya berkutat pada soal bagaimana mengatasi pasien-pasien yang terjaring melalui Klinik VCT. Pendampingan pasien oleh manajer kasus dan merawat pasien-pasien yang sudah memasuki fase AIDS juga memang perlu dilakukan, sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Walaupun sebenarnya pada fase ini, akhirnya berujung pada kematian, jika penanganan dan disiplin pasien yang buruk.

Para relawan pegiat pencegahan HIV hendaknya bergerak pada upaya-upaya yang lebih fokus pada kegiatan menyebarluaskan informasi tentang HIV, sehingga masyarakat yang masih sehat mampu melidungi dirinya sendiri dari infeksi HIV.

Provokasi dan advokasi terhadap pihak berkepentingan, pemerintah dan wakil rakyat, agar mendorong komisi penanggulangan AIDS daerah (KPAD), yang ada di propinsi maupun kabupaten/kota, lebih mandiri dalam melakukan upaya-upaya promotif dan preventif. Biarkan upaya-upaya kuratif hanya dilakukan di institusi pelayanan kesehatan saja. Saat ini eksistensi KPAD sendiri patut dipertanyakan, hidup segan mati pun tak mau. Sedikitnya anggaran daerah untuk penanggulangan HIV mempunyai andil yang cukup besar terhadap maju mundurnya KPAD. Selama ini sebagian besar anggaran untuk penanggulangan HIV berasal dari donor asing. Ketika pihak donor menghentikan secara tiba-tiba bantuannya, banyak pekerjaan yang terbengkalai. Beberapa rekan-rekan relawan di daerah sangat merasakan atmosfer itu.

Menyadarkan peran di luar sektor kesehatan sangat mendesak dilakukan. Selama ini ada anggapan urusan AIDS adalah urusan sektor kesehatan belaka, anggapan yang harus segera disingkirkan. AIDS merupakan urusan semua pihak, bukan lagi nasional melainkan menjadi perhatian masyarakat global. MDGs tolok ukurnya, dan kita sudah berkomitmen untuk bersama memerangi AIDS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun