Mohon tunggu...
Agus Widi
Agus Widi Mohon Tunggu... -

ingin banyak menulis dan berbagi informasi kepada siapapun. Karena dengan itu, kita bisa memberikan dan menerima informasi dari manapun juga. bisa juga melihat tulisan saya di://kotakinformasi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Sampah di “Pulau Neraka”

30 April 2011   14:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di mata internasional, paradigma baru mengenai pulau Bali semakin beragam. Berita yang berhembus, belakangan ini menjadi momok tersendiri sekaligus pertaruhan citra di hadapanpara wisatawan dunia.

Lihat saja pemberitaan yang dilakukan oleh majalah Times sekaliber internasional ini sempat merubah ‘kulit asli’ Bali. Bali sebagai pariwisata Neraka. Ya, bukan hal salah apalagi harusdisanggah secara fundamental. Pemerintah pun tak bisa berkutik, bahkan seakanmengiyakan hal tersebut. Itu lah gambaran sebenarnya Bali saat ini. Pencitraan Bali, terlalu berlebihan dan menggema di diluar sana, toh tak bisa diimbangi dengan restorasi dari keamanan, kebersihan, polusi, kemacetan, hingga ledakan penduduk migran. Terlalu Bervarian masalah yang terdapat dalam pulau ini. Tumbuh subur dan menggeliat tanpa henti.

Bukan sampai disana saja. Sampah, yang juga belakanganmenjadi isu nasional selain ulat Bulu pun semakin merambah saja.Menarik untuk di cermati,sampah-sampah yang menumpuk di pantai kuta dengan tanggap di berikan alasan sebagai sampah kiriman angin barat. Apakah mungkin,sampah sebanyak itu hasil kiriman murni? apakah itu bukan merupakan sampah hasil sisa rumah tangga maupun aktivitas pariwisatayang tertumpu di pantai Kuta?

Pembelokan alasan, memang acapkali terjadi ketika ingin menyelamatkan keadaan di Lapangan secara realita. Sekali lagi memang tidak ada salahnya, namun sangat salah besar jika menuduh hal-hal di luar konteks sebagai penyebab dari biang keladi hal tersebut diatas. Ketakutan pemerintah akan di keluarkanya travel warmingtentu saja menguras otak. Beragam cara dan usaha yang dilakukan selama ini, pun belum bisa menemukan indikasi yang membaik.

Dampak pariwiata tak selamanya indah. Buktinya para penggiat industripariwisata seperti hotel, restoan, pasar modern, pasar tradisonal, dan kejainan lainnya yang memproduksi sampah tiap harinya begitu banyak, belum secara maksimal melengkapi operasional perusahaan dengan tempat pengelolaan sampah sebagai TPA-nya. Dampak nayata pun terasa. Inimembuktikan bahwa, kirimin sampah dari angin barat hanyalah factor terkecil, dan bahkan nyaris tidak ada jika menyikapi hal tersebut.kembali lagi pada elite tertentu yang ingin “menyelamatkan” penggerak pariwisata yang bermain di belakangnya, bukankah seperti itu!

Jadi Bom Waktu

Go Gren And Celan yang di canangkan pemerintah pun tak berarti banyak, jika seluruh elemen tidak bisa sadar diri dalam pengelolaan sampah yang tak lama lagi akan menjadi bom waktu buat Bali sendiri. Ini tak terlepas dari gaya hidup masyarakat Bali, yan acuh tak acuh terhadap keadaan sampah. Budaya membuang sampah ke sungai, semakin bertambah saja seiring dengan himbauan pemerintah agar berperan dalam penanganan sampah. Ini membuktikan adanya miss antara pemerintah dan masyarakat.

Menjadi pulau bersih dan sehat, bukanlah perkara gampang. Apalagi hanya sebatas himbauan. Melihat aktivitas penduduk yang begitu banyak, tentu ini pun setidaknya menjadi ironi. Untuk mensiasati haltersebut, pemerintah di kabupaten pun menerapkan perda yang memberikan sanksi kepada masyarakat, apalagi melakukan aktivitas membuang sampah secara sembarangan. Bahkan, retribusi pun di terapakan. Namun harus lagi-lagi karena sanksi dan pengawaan yang amat lemah, hal tersebut tak pernah diindahkan. Warga dengan gencar membuang sampah disungai, selokan, got ataupun aliran perairan, sehingga pada akhirnya ketika musim hujan datang, banjir pun melanda.

Belum berhenti sampai disana untuk menyikapi ironi sampah. Seakantak kehilangan akal, belakangan ini pemerintah pun mengucurkan bantuan sosial untuk menangani masalah sampah sebanyak 500 juta untuk 100 kelompaok masyarakat. Dengan setiap satu kelompok masyarakat akan dijatahkan masing-masing 5 juta. Tentunya dengan persyaratan, yaitu bagi kelompok masyarakat dan sekolah yang bertminat untuk mendapatkan bansos tersebut benar-benar sudah melakukan pengelolaan sampah yang mengarah pada 3R yaitu reduce, reuce, dan recycle. Dengan adanya persyaratan tertulis pula yaitu Propasal, yang nantinya akan di verifikasi. Memang sedikit formal dan meyakinkan.

Wajib dipantau, mengingat bansos diatas bukanlah dengan biayasedikit.Jangan sampai langkah yang dikeluarkan untuk menyadarkan mayarakat tentang baiknya, pengelolaan sampah bukan hanya sebatas pada tataran untuk memperoleh pendaan dengan sekian juta. Namun lebih pada penyadaran diri terhadapan lingkungan saat ini. Belajar dari kisah Pabrik pengelola saampah yang saat ini menjadi “sampah”, di dusun Peh, Desa kaliakah, Jembrana.

Mesin yang di datangkan khusus dari negeri Sakura tersebut, hanya bisa di manfaatkan sampai beberapa bulan saja. Meskipun tujuan di datangkan pabrik tersebut, untuk mengatasi sampah agar bisa di manfaatkan menjadi kompos. Nantinya di gunakan untuk kepentingan pertanian, ternyata mandek di tengah jalan. Parahnya lagi, aroma korupsi mesin pabrik kompos , yang menelan uang rakyat sebesar 4,1 milyar tersebut, sekaranghanyalah menjadi “sampah” yang tak berarti. Iniseharusnya menjadi pelajaran untuk para elite, dalam mengambil sikap di lapangan. Apalagi masalah dana yang di kucurkan.Perlu pertimbangan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun