Menurut ayahku hanya Ibuku lah barista favoritnya, sepanjang tiga puluh tahun usia pernikahan mereka hanya Ibu yang tahu betul racikan kopi terbaik untuk Ayahku. Padahal jika kuperhatikan tidak ada bahan tambahan yang diberikan Ibu, beberapa sendok kopi arabika giling, beberapa sendok gula semut itu pun takarannya sering berubah-ubah sesuai dengan ukuran gelas dan mood Ibu.
Ketika Ibu harus keluar kota tak ayal Ayah kalang kabut, beliau berusaha membuat kopi, namun masih tak enak menurutnya, jika sudah begitu Ayah akan menyuruhku untuk membuatkannya kopi, agak malas memang karena aku enggan mendengar komentar pedas Ayah, tapi aku tetap berusaha membuatnya.
“Ah..enggak enak kopinya! gimana mau buatin suamimu nanti” komentar Ayah setelah mencicipi kopi buatanku, beliau terhenti pada hirupan kedua. Setelah itu kopi tak disentuh lagi hingga dingin. Karena penasaran kucicipi kopi buatanku takut jika ada yang salah dengan racikanku, rasanya biasa saja, wangi khas kopi, manis dan dingin karena sudah terlalu lama dibiarkan ”Ayah merepotkan!” umpatku dalam hati.
Aku pernah bertanya pada Ibu mengapa Ayah hanya mau kopi racikannya. Sedikit bingung untuk mendapatkan jawaban, Ibu hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya, sepertinya beliau pun tak tahu.
Ingin rasanya aku bertanya pada Ayah, mengapa kopi buatanku tak pernah enak walaupun sudah mengikuti instruksi dari Ibu, tapi aku enggan bertanya, aku malu.
“Semoga saja suamiku kelak tidak doyan kopi” anganku berharap.
—- suatu malam minggu di bulan Februari —-
Ini kali pertamanya aku membawa pasangan ku ke rumah, dia ingin bertemu dengan keluargaku katanya. Ayah dan Ibu sudah menunggu di ruang keluarga, “Van ini Ayahku, ini Ibuku, Bang Randy sedang keluar sepertinya” ujarku pada Ivan pasanganku, selanjutnya pembicaraan pun mengalir dengan menyenangkan.
“Lho Rin, Ivan tidak kamu buatkan minum?” Ibuku bertanya ditengah pembicaraan, “oh iya, Van kamu mau minum apa?”, “kopi hitam panas boleh, malam ini agak dingin” pintanya, “tolong buatkan Ayah satu ya” seloroh Ayah tak mau ketinggalan.
Pembicaraan kami semakin hangat seiring habisnya kopi digelas kami, tak terasa waktu sudah larut, Ivan berpamitan untuk pulang. Ketika kubereskan sisa kopi tadi baru kusadari bahwa kopi buatanku untuk Ayah habis, yang tersisa hanya ampas kopinya saja.
— pagi di hari minggu —
Berbekal rasa penasaran yang begitu besar kuhampiri Ayah yang sedang dibuk dengan mesin mobilnya. “Ayah, Karin mau tanya?”, “hmm, apa Rin” jawab Ayah singkat tanpa berpaling dari mobilnya, “itu soal semalam…” jawabku ragu, “Ivan? dia cukup baik dan sopan, sejauh ini Ayah dan Ibu suka padanya”, “ih bukan Ayah, bukan itu yang mau Karin tanya” gerutuku agak kesal, Ayah menghentikan kesibukannya dan mulai memberikan perhatian penuh padaku.
“Karin mau tanya kenapa kopi yang dibuat Karin semalam bisa Ayah habiskan, racikan kopi Karin sudah bisa diterima oleh lidah Ayah atau hanya karena ada Ivan sehingga Ayah enggan berkomentar?”, mendengar pertanyaanku yang panjang Ayah tertawa keras sekali, aku pun bingung dibuatnya.
“Kamu mau tahu jawabannya? coba buatkan Ayah kopi sekarang, nanti Ayah beritahu” pinta Ayah, segera ku menuju dapur untuk membuatkan syarat yang diminta Ayah.
“Tahukah kamu kenapa Ayah begitu ketagihan dengan kopi buatan Ibumu? tanya Ayah, “enggak” jawabku singkat, ayah mulai bercerita bagaimana beliau ketika berpacaran dengan Ibu, beliau menyebutkan tempat-tempat favorit mereka, kemudian berlanjut cerita pernikahan hingga bagaimana kelakuanku ketika kecil.
Tidak ada sedikitpun di cerita beliau yang menceritakan tentang kopi, rasa penasaranku terlupkan karena aku terlanjur terbawa dalam suasana akrab yang sebelumnya tidak pernah kurasakan bersama Ayah sebelumnya. HIngga akhirnya pembicaraan harus terhenti karena ketika Ayah akan minum kopinya telah habis.
“Yaah, kopi Ayah habis, sudah ah ceritanya” ujar Ayah sambil memandangi gelas kopinya yang tinggal ampas. Seakan tak percaya kopi buatan ku habis diminum Ayah tanpa komentar pedas dari beliau, aku tersenyum senang.
“Jadi bukan pada kopinya anakku, jika minum kopi biasa Ayah bisa di coffeshop, atau Ayah buat sendiri, tapi bukan itu yang membuat kopi menjadi enak” ujar Ayah, “jadi tetap harus orang tertentu?”, “tidak juga, buktinya kopi buatanmu kali ini enak, sama seperti buatan Ibumu”, “ah Ayah bisa saja”, “jika kamu mau membuatkan Ayah kopi, tetaplah bersama Ayah walaupun sejenak, kamu bukan waiter di caffe kan? setelah membuatkan kopi pesanan kamu bisa langsung pergi, coba perhatikan Ibumu, setiap kali membuatkan kopi untuk Ayah beliau tidak akan langsung beranjak pergi, jika itu pun terpaksa terjadi kopi buatan Ibumu akan terasa hambar bagi ayah” Ujar ayah berlalu masuk rumah sembari menenteng gelas kosongnya.
Mendengarkan jawaban Ayah hatiku begitu senang, bahkan Ibu ku pun tak tahu pasti jawaban mengenai kegilaan Ayah pada kopi buatan Ibu. Nampaknya Ibu akan segera memiliki barista pesaing lainnya di rumah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H