Saya bukan Sarjana Kehutanan atau pun Sarjana Lingkungan Hidup apalagi ahlinya. Namun dalam kesempatan ini hanya sekadar ingin ikut berkomentar dan memberikan pandangan serta perhatian pada hutan dan lahan konservasi yang laju kerusakannya telah mencapai 450 ribu hektar per tahun serta lingkungan hidup yang diabaikan. Jadi tulisan ini masih senada dengan tulisan pertama saya pada kolom Green-Iklim.
Dalam suatu kesempatan saya pernah berbincang-bincang dengan salah satu rekan yang bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Saya menanyakan: ”Mas bagaimana cara menentukan batas wilayah lahan konservasi ? ”. “Ada Undang-undang yang mengaturnya Pak, yang pasti menjadi kewenangan Menteri Kehutanan“, jawabnya singkat dan normatif.
Selanjutnya rekan saya itu curhat: “Itu ketentuannya Pak, tetapi di lapangan tidak seperti apa yang tertulis di atas kertas Undang-undang. Karena ada lahan konservasi yang sudah ditetapkan Menteri Kehutanan tetapi di lapangan Pemda setempat mengklaim punya batas wilayah sendiri dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) punya peta sendiri”. “Kita jadi bingung bagaimana mengelola lahan konservasi itu dan mengajukan anggarannya”, lanjut rekan saya itu.
Sedikit flash back, banyak sekali terjadi sengketa lahan di wilayah Provinsi Sumsel bahkan berbuntut kerusuhan massal yang merenggut harta dan nyawa. Bahkan isu beking membekingi pengusaha yang mendapar ijin pengusahaan lahan konservasi telah melibatkan aparat Negara sangat santer terdengar karena banyak masyarakat kecil menjadi korban karena senjata yang mereka tembakkan. Bahkan konflik horizontal pun sering terjadi sehingga persoalan ini tidak lepas dari substansi obrolan di atas.
Kalau kita masih ingat pada zaman Presiden SBY, ada salah satu gubernur dari wilayah timur pernah menghadap beliau “protes” karena gubernur itu berbeda pendapat atau tidak setuju dengan keputusan Menteri Kehutanan soal IHH dan IHPH yang sebenarnya aturan mainnya sudah sangat jelas.
Lagi-lagi mis komunikasi dan kurang koordinasi menjadi kelemahan utama birokrasi. Masing-masing pihak merasa cuma melaksanakan tugas dan atas nama Undang-undang. Dan saya sangat tidak sepakat kalau kejadian itu akibat dari peraturan perundangan yang dianggap tumpang tindih dan apalagi menjadikannya kambing hitam.
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi peristiwa di atas ?. Alam bawah sadar kita akan sangat jelas dan kalau kita sejenak berpikir serta merenunginya ternyata motif atau kepentingan ekonomi telah menjadi faktor pertimbangan sehingga dalam mensikapi hal ini tidak lagi objektif. Akan tetapi, kalau hal ini ditanyakan kepada mereka yang terlibat pasti ada alasan atau argument yang menjadi pembenar. Karena faktanya masyarakat dan ekosistem telah menjadi korban.
Di sinilah kita butuh concern dan good will semua pihak yang terlibat agar objektif dalam mensikapi hal ini. Artinya kepentingan masa depan yang lebih besar yaitu kelestarian alam, hutan, lahan konservasi dan habitat lingkungan hidup yang nyaman bagi anak cucu kita agar menjadi fokus perhatian dan pertimbangan utama dalam mensikapi masalah tersebut.
Gerakan-gerakan kepedulian alam hutan, alam dan lingkungan perlu lebih banyak digalakkan. Pembangunan atau investasi yang berwawasan lingkungan pun perlu di kedepankan. Saya pribadi menaruh hormat pada salah satu anak muda dari kota Pontianak. Di tengah usianya yang relative muda (25 tahun) telah menjadi jutawan dari bisnis berbahan baku sampah.
Norwegia adalah salah satu contoh Negara yang sangat konsen dengan persoalan lingkungan hidup sehingga negara itu menaruh apresiasi besar pada program Green Investment (Investasi Hijau). Banyak insentif yang diberikan kepada investor jika di dalam menjalankan usaha aspek lingkungan hidup menjadi bagian dari nilai investasinya.
Tidak lama lagi negeri ini akan mejadi tuan rumah pertemuan forum internasional yang peduli pada Green Investment yaitu Tropical Landscape Summit 2015. Harapan besar dari hasil pertemuan ini pemerintah, investor dan semua pihak lebih peduli pada masa depan lingkungan hidup sehingga alih fungsi lahan konservasi, hutan, lahan permukiman, dan lahan hijau menjadi lahan investasi bisnis tidak sembarangan. Artinya pertimbangan di masa depan yang lebih besar yaitu kelestarian alam, hutan, lahan konservasi dan habitat lingkungan hidup tidak dinomorduakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H