Merinding bulu kuduk ketika membaca status Facebook sahabat lama waktu SMP. Dia menyoal besaran Dana Parpol, fasilitas pejabat negeri yang wah dan wacana pencabutan subsidi gas LPG 3 kg juga subsidi untuk pelanggan listrik 450 KWH dan 900 KWH yang katanya membuat rakyat yang sudah miskin menjadi semakin miskin dan sengsara.
Banyak kita mendengar ulasan dan pendapat dari para pejabat dan pengamat di media cetak maupun media elektronik yang mengatakan bahwa subsidi yang dikucurkan negara selama ini tidak tepat sasaran dan justru dinikmati oleh pihak-pihak atau orang-orang yang seharusnya tidak layak menerima subsidi itu.
Menyoal pelanggan listrik 450 KWH dan 900 KWH, dikatakan oleh seorang pejabat perusahaan plat merah ini bahwa banyak orang yang mampu dan punya rumah lebih dari dua dengan menggunakan listrik berkapasitas 450 KWH dan 900 KWH. “Nah nantinya akan pakai kartu sehingga tidak memungkinkan orang punya rumah lebih dari satu tetapi menggunakan daya 450 KWH atau 900 KWH”, katanya.
Terus soal gas LPG 3 kg, sudah banyak kelakuan segelintir orang yang berhasil diungkap petugas yaitu mereka mengoplos gas LPG 3 kg yang disubsidi dengan gas LPG 12 kg yang tidak disubsidi. Anda hitung sendiri ‘keuntungan per kg’ yang menggiurkan dari disparitas harga yang sangat jauh antara harga gas LPG 3 kg dengan harga gas LPG 12 kg atau lebih. Karena harga pasar keduanya variatif, sebagai gambaran harga gas LPG 3 kg anggap saja Rp 18 ribu sedangkan harga gas LPG 12 kg Rp 170 ribu. Semestinya kalau harga gas LPG 12 kg juga disubsidi maka harga jualnya cuma Rp 72 ribu.
Demikian pula soal Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk jenis Premium dan Solar yang pelan tapi pasti akan dicabut subsidinya. Langkah pelan tapi pasti usai lebaran tahun ini Pertamina akan menjual Pertalite RON 90 dengan target pengguna Premium agar bergeser dan sekarang Pertalite RON 90 sudah dijual di SPBU-SPBU tertentu.
Maraknya penyelundupan BBM menjadi salah satu dampak ikutan dari pemberian subsidi BBM dan hal ini juga terjadi pada pengoplosan gas LPG 3 kg ke LPG 12 kg. Namun penyelundupan BBM ini nilainya jauh lebih menggiurkkan dibandingkan dengan pengoplosan gas LPG. Apa karena ada kejadian pengoplosan dan penyelundupan subsidi akan dikurangi atau dicabut ?. Memang tidak sesederhana itu masalahnya.
Masalah dana parpol yang disoal, saya tidak bisa berkomentar banyak. Masalah Dana Aspirasi inisiatif dari legislative yang tidak disetujui oleh pemerintah menjadi catatan tersendiri. Menurut anggota dewan yang setuju dengan Dana Aspirasi bahwa mereka tidak akan memegang uangnya se-sen-pun. Konsep dan mekanisme pelaksanaannya tetap melalui siklus APBN sehingga yang mengeksekusi Dana Aspirasi tetap pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang menjadi catatan pada konsep ini adalah anggota dewan dapat langsung mengawasi besaran Dana Aspirasi yang telah menjadi porsi pada Daerah Pemilihannya.
Selain itu, menurut mereka ada daerah atau tempat yang kurang, minus atau tertinggal namun lolos dari perhatian pemerintah. “Nah, yang lolos ini yang kita perjuangkan”,katanya. Tetapi kabarnya Presiden tidak setuju, coba kita lihat perkembangannya nanti. Hanya saja yang perlu diingat bahwa mereka dipilih oleh rakyat atau konstituennya dan bisa duduk di kursi empuk bahkan mendapat julukan Anggota Dewan Yang Terhormat semestinya harus memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan aspirasi sendiri atau kelompok.
Sedangkan fasilitas pejabat yang wah. Seyogyanya para pejabat negeri tidak menunjukkan pola atau gaya hidup selebriti. Celakanya ada yang sudah pensiun/purna tugas tetapi mobil dinas dan rumah dinas belum dikembalikan bahkan didiami anak cucu. Ini pelajaran berharga, seharusnya Surat Keputusan Pensiun mereka tidak diproses sebelum mengembalikannya kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah.
Pak Menpan Yuddy Chrisnandi kadang-kadang mblunder, “I am sorry, lho Pak”. Undangan resepsi keluarga aparat negara dibatasi –seharusnya fokus pada gratifikasinya-, giliran soal memakai mobil dinas untuk mudik dipersilakan. Jadi kurang tepat dan bijak memperbolehkan mobil dinas untuk mudik. Contohlah Bu Tri Rismaharani Wali Kota Surabaya dan Gubernur NTB yang melarang Pegawai Negeri Sipil menggunakan mobil dinas untuk mudik bahkan beliau akan menindak tegas bagi yang melanggar. Lagi pula, apa tidak malu mudik pakai kendaraan berplat merah. Ooo, mereka ada yang punya dua plat nomor (Merah dan Hitam) !.
Masuk akal atau tidak ulasan di atas untuk dijadikan alasan pencabutan subsidi ?, silakan pembaca menilai sendiri. Yang terpenting, jika pencabutan subsidi itu memang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan berdampak pada layanan publik yang semakin membaik, is ok. Khususnya layanan kesehatan dan pendidikan yang semakin mudah diakses oleh kelompok masyarakat yang kurang mampu dan ini hanya bisa terwujud jika para pelayan publik (aparatur negara) dan penyelenggara negara bersahaja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H