Mohon tunggu...
antok widiyatno
antok widiyatno Mohon Tunggu... - -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Untuk Apa Kode Etik dan Perilaku Aparat

16 November 2015   16:48 Diperbarui: 16 November 2015   18:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ini level kedua dan sudah jelas sebagai bentuk moral hasrat. Sebagian Aparatur Negara merasa di atas angin dan merasa dibutuhkan sehingga menggunakan posisinya untuk mencari keuntungan sesaat. Sebenarnya tindakan itu bukan mencari keuntungan, tetapi menggali kebuntungan diri sendiri bahkan keluarganya.

Mereka belum menyadari bahwa mereka berada di situ dan melaksanakan tugas telah digaji oleh Negara sehingga sudah wajar dan wajib melaksanakan tugasnya. Kalau masih ada yang beralasan bergaji kecil, jawabannya simple, ”Siapa suruh jadi pegawai negeri !”. Ada survey yang mengatakan bahwa gaji tinggi tidak berkorelasi dengan perilaku korup dan tindakan menyimpang lainnya dari aparat itu. Semakin tinggi gaji maka orientasi juga lain sehingga gaji berapun akan selalu mesara kurang.

Semua kementerian dan lembaga telah mendapat Tunjangan Kinerja. Tetapi coba diingat kembali yang dikatakan Kadis Pendidikan Probolingga yang menyoal Tunjangan Sertifikasi dan juga komentar Waketum PGRI beberapa waktu yang lalu, singkatnya tunjangan sertifikasi kurang berdampak signifikan terhadap kualitas mengajar para guru.

Untuk meningkatkan kinerja, para hakim diberi tunjangan fungsioanal hakim dan tambahan tunjangan wilayah tugas sesuai zona penempatannya namun masih ada yang selingkuh dan menerima suap seperti yang saat ini disidik KPK dan Kejaksaan. Demikian pula aparat penegak, masih ada yang bermain mata bahkan memperdaya padahal sejatinya wajib melindungi dan mengayomi melalui penegakan hukum seperti motto “Kami Siap Melayani” .

3. Menyalahgunakan wewenang/kekuasaan

Ini adalah level ketiga dari perilaku tidak elok. Pada level kedua yang bersangkutan masih bisa kompromi dengan pengguna layanan. Pada level ini dia sudah tidak mau kompromi. Seluruh layanan diukur dengan standar gratifikasi atau tip bahkan memeras kepada pengguna layanan telah menjadi hal yang lumrah.

Aparat seperti ini tidak lagi sungkan apalagi malu menjerumuskan pihak lain. Motif hanya satu, mencari keuntungan sendiri atau kelompok dan dilakukan serapi mungkin agar tindakannya itu tidak diketahui orang lain. Bahkan tidak jarang mereka melakukan skenario, apabila sewaktu-waktu tindakan itu terkuak maka dapat dibalik menjadi kasus penyuapan kepada petugas, atau paling tidak diri sendiri aman dengan merekayasa agar menjadi kasus pencemaran nama baik. Pihak lain dikorbankan, padahal dia sendiri yang melakukan dalam membuat skandal.

Reformasi birokrasi dan kelembagaan yang selalu didengung-dengungkan harus mempunyai makna. Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah harus dibuang jauh dan salah satu indikator keberhasilannya adalah layanan yang semakin cepat, tepat, jelas dan terukur sehingga pengguna layanan dengan mudah dapat mengaksesnya dan informasi progress layanan tersebut juga dengan mudah dapat langsung diketahui.

Jangan sampai fenomena ini dibiarkan menggejala sehingga pepatah lama ”walaupun air di lautan habis diminum tetap merasa kehausan” atau “andaikan semua gunung dapat diubah menjadi emas, bintang di langit pun masih ingin dimiliki” disematkan pada aparat dan birokrat negeri ini. Sederhana, jika indek korupsi turun maka itu tanda bahwa aparat dan birokrat juga semakin membaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun