[caption id="" align="aligncenter" width="479" caption="Naskah Perjanjian Giyanti 1755 yang kini disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia"][/caption]
Tepat hari ini (13/2/2015), 260 tahun yang lalu, sebuah peristiwa besar terjadi di Jawa. Mataram, salah satu kerajaan terbesar di pulau ini seolah tak henti dari perselisihan. Kepemimpinan Mataram yang kala itu diemban oleh Sunan Pakubuwono III sering berseberangan dengan adiknya, Raden Mas Sujana, atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Mangkubumi.
Beragam polemik yang menyelimuti Mataram seakan dimanfaatkan oleh Kumpeni (sebutan bagi VOC) untuk memecah belah kekuatan dan kesolidan Mataram. Kumpeni saat itu seolah-olah bertindak sebagai penengah. Hingga setelah melalui berkali-kali perundingan, akhirnya  Sunan Pakubuwono III mengikuti gagasan Kumpeni yang mengajaknya untuk memecah Mataram menjadi dua bagian.
Kesepakatan untuk membagi Mataram terjadi di Dusun Giyanti, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah, yang akhirnya dijadikan sebagai nama perjanjian.
[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 (wikipedia)"]
Adapun isi perjanjian giyanti adalah:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda menyetujuinya.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.Pokok pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733,1743, 1746, 1749.
Dengan ditandatangani dan diberlakukannya perjanjian giyanti ini, maka Kerajaan Mataram resmi terbelah menjadi dua bagian; Kasunanan Surakarta di sebelah timur Kali Opak, dan Kasultanan Ngayogyakarta di sebelah barat Kali Opak.
Melihat fakta sejarah tersebut, maka keberadaan Yogyakarta seperti sekarang tak lepas dari Perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I, dan menata wilayah Ngayogyakarta secara mandiri hingga kini, 260 tahun setelah Perjanjian Giyanti.
[caption id="attachment_368668" align="aligncenter" width="640" caption="Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (dok. www.awicarita.com)"]
_______________
Risalah yang relatif lebih lengkap mengenai perjanjian giyanti sudah bisa diakses secara online di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H