Asa Independen Terkubur
Seperti sudah disampaikan di dalam tulisan bagian pertama. Ahok sebagai orang yang free, bukan kader partai, untuk urusan nyalon pikada tidaklah mudah. Tentu satu-satunya cara “aman” adalah melalui jalur independen (dengan memenuhi persyaratan). Namun saat itu pendaftaran untuk bakal calon gubernur DKI sudah ditutup. Artinya peluang jalur independen sudah tidak memungkinkan.
Itu realitanya. Dan celakanya, itu pulalah yang awalnya menjadi pandangan Ahok, bahwa ia sadar bukan kader partai mana pun, sehingga tidak ada parpol yang bisa menjamin dirinya bakal ikut pertarungan Pilgub DKI. Berbekal teman-teman relawan yang mau bersusah payah meninggalkan pekerjaan bahkan keluarganya, siang malam 24 jam mengupayakan persyaratan nyalon yakni mengumpulkan KTP, Ahok masih memiliki asa (ketika itu).
“Kalian siap?”—“Siap!”—“Paham akan resiko dan konsekuensinya mendukung saya?”—“Paham!” Relawan yang umumnya (katanya) kaum muda itu kadung mengambil langkah “menceburkan” diri dalam panggung politik (yang mungkin bagi sebagian besar mereka tidak mengenal apa dan bagaimana itu politik praktis, kurang pengetahuan apalagi pengalaman). Sifatnya kaum muda, ingin coba-coba “mendobrak” kemapanan sistem politik dan realita politik Indonesia yang masih berorientasi parpol.
Sepertinya mereka terinspirasi dengan kemenangan Jokowi baik saat menjadi gubernur di DKI maupun menjadi presiden, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, suara dan kekuatan rakyat adalah riil politik. Namun politik itu tidak hitam putih dan politik bukan matematika yang serba jelas rumus dan hasilnya. Ada “hitungan-hitungan” lain yang bisa bersifat taktis (jangka pendek) maupun strategis (jangka panjang, belum lagi jika bicara ideologi).
Ahok: Saya Butuh “Kendaraan”
Ahok memang dikenal memiliki pola pikir taktis, bagaimana bisa menjadi “pejabat”, itu saja. Dalam tayangan Kick Andy serta di beberapa kesempatan, Ahok selalu mengatakan bahwa, “Untuk melakukan perubahan kepada orang banyak, maka “Lu” harus menjadi pejabat. Bisa melakukan banyak hal perubahan. Jika hanya mikir diri sendiri, saya milih jadi pengusaha aja, enak,” demikian Ahok. Dan untuk mencapai itu dibutuhkan sebuah “kendaraan” bernama parpol.
“Jujur, dulu untuk menjadi Bupati, saya butuh parpol. Tidak masalah partai apa (pada saat itu PBB, sesuatu yang tidak memiliki dasar ideologis sama sekali) yang penting bisa mendaftarkan,” tambah Ahok. Begitu juga saat menjadi anggota DPR RI ia butuh Golkar, dan terakhir untuk didukung dan didaftarkan menjadi Cawagub DKI bersama Jokowi, ia butuh Gerindra. Partai hanya sebagai alat atau kendaraan bagi Ahok, tanpa ikatan atau komitmen apapun, apalagi ideologi.
Hal ini mungkin sama dan sebanding dengan mindset atau pemikiran masyarakat yang menganggap parpol itu “busuk” dan sarangnya koruptor, banyak permainan licik, serta hanya demi kepentingan segelintir pengurusnya saja. Jadi sikap dan pandangan Ahok bukan sebuah hal yang aneh bagi masyarakat, bahkan mereka mendukung-mendukung saja. Padahal, bagi yang mengerti atau belajar sejarah dan politik, partai itu tidak sekadar “nama” atau “bendera” sebagai syarat terlibat dalam sistem politik (di negara mana saja).
Partai Politik adalah sebuah kumpulan individu (baca: rakyat) yang memiliki kesamaan cita-cita dan tujuan berlandaskan ideologi tertentu. Nanti kalau masuk partai akan menjadi petugas partai, ya jelas.Akan diatur-atur, ya jelas. Akan banyak kewajibannya, ya jelas. Akan ada penugasannya, ya jelas. Akan terikat, ya jelas. Akan ada etikanya, ya jelas lah. Jangankan partai, apapun yang namanya organ tempat berkumpul (entah itu, sosial, politik, keagamaan, bisnis, dsb), ketika Anda bergabung maka Anda wajib mengikuti aturannya.
Soal Partai itu korup, ya itu kasuistik (di semua organisasi ada baik dan buruknya, termasuk dalam individu masing-masing kita). Artinya bukan bagian dari tujuan awalnya membentuk organisasi. Coba tanyakan kepada ormas Muhammadiyah atau pun NU, lihat juga misalnya institusi bernama perguruan tinggi, kepolisian, TNI, rumah sakit, sekolah, masjid, gereja dan sebagainya, apakah semua organ itu dibangun untuk tujuan “kotor”? Tapi apakah organisasi yang disebut itu dalam praktiknya bersih-bersih saja? Wong, yang namanya menampung orang banyak, pastilah juga menampung pikiran yang banyak juga sikap dan perilaku.