Untuk itu mahasiswa tidak perlu malu atau ragu dengan sikap dari kesadaran-barunya tersebut. Jangan pernah takut, sensi apalagi baper dengan kritik dan tuntutan terhadap apa yang sudah dilakukan (apa peran mahasiswa?), karena hal itu akan terus terjadi selama ada kehidupan. Dulu dipertanyakan dan sekarang juga dipertanyakan, jawab saja dengan tindakan, apa yang sudah kita lakukan.
Kesadaran juga kerap diukur “seberapa penting”. Jika memang itu dianggap penting maka diprioritaskan menjadi sebuah kesadaran. Namun “penting” ini kadang juga bercabang, penting bagi diri sendiri, kelompok, masyarakat kebanyakan atau siapa? Seperti ada skala untuk dipilih-pilih. Siapa atau apapun kepentingannya, setidaknya telah berbuat, tidak hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.
Saya ingin sedikit memberi ilustrasi antara “yang bisa dilakukan” dengan “yang harus dilakukan”. Sekali waktu, ada kejadian seorang anak yang megap-megap kecebur di sungai yang terkenal dalam dan sedang mengalir deras. Kepalanya timbul tenggelam. Beberapa orang yang melihat hanya berteriak-teriak tanpa melakukan apapun. Korban semakin terbawa arus dalam keadaan lemah. Ia akan mati jika tidak ditolong segera.
Di tengah saat-saat genting tersebut, seseorang berteriak Mengapa tidak ditolong?—Saya tidak bisa berenang—Sulit, karena arusnya deras, jawab yang lain... Mereka sibuk berdebat membahas bagaimana cara menyelamatkan si anak, tanpa menyadari ternyata ada seseorang yang nekad menceburkan diri. Si Penolong mencoba mendekati korban dengan gaya berenang yang “aneh” (ternyata tidak bisa berenang).
Dengan susah payah ia berhasil menyelamatkan korban, namun ia terseret arus hingga beberapa meter. Saat berhasil mencapai tepi sungai, ia justru mendapat teriakan menyakitkan, Kau gila ya? Mau bunuh diri atau mau sok jago? Sudah tahu tidak bisa berenang coba-coba menolong orang tenggelam? Sok lu!!! Si Penolong hanya menjawab, Saya hanya melakukan sesuatu yang memang sudah seharusnya saya lakukan. Jika menunggu bisa berenang, maka anak itu bisa hanyut dan tenggelam...
Ini pengalaman dan pembelajaran hidup. Banyak di antara kita berdalih "kalau saya bisa" untuk melakukan sesuatu, padahal “sesuatu” itu adalah harus atau wajib hukumnya. Sebagai contoh, orangtua sering berdalih tidak ada waktu dan hanya berharap, "andai saya bisa mendampingi anak-anak belajar..." Atau misalnya seorang mahasiswa bergumam mendengar berita bencana banjir, "Saya masih kuliah belum bisa berkiprah..." Tentu tidak salah karena setiap orang berada dalam kondisinya masing-masing.
Karena sekali lagi, pada prinsipnya untuk berbuat baik itu tidak perlu alasan, karena ini atau karena itu ataupun berharap ini itu. Berbuat baik itu adalah keharusan dengan dasar kemanusiaan sehingga tidak perlu dicari-cari, mengapa harus memiliki kesadaran untuk peduli? Yang terpenting sesudahnya, jagalah daya tahan kesadaran itu selama mungkin, karena sekali ia terhenti maka akan sulit untuk membangunnya kembali.
Celoteh di angkringan memang tidak pernah ada kesimpulannya, dan anggota komunitas bisa saling menghargai apapun pilihan masing-masing. Tidak ada debat kusir, tidak perlu ada pemaksaan apalagi sampai bertengkar. Paling jauh hanya menyindir dengan gaya khas Yogya. Celotehan akan selesai jika minuman di cangkir sudah habis, kembali ke kediaman masing-masing dengan damai. Malam semakin larut, saya pun bergegas menyeruput wedang ronde yang sudah tidak panas lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H