Di Yogyakarta, “angkringan” sudah menjadi semacam komunitas sendiri. Di setiap titik angkringan mangkal pastilah memiliki member yang setia nongkrong di sana. Selain memang untuk memenuhi kebutuhan perut dengan aneka hidangan kelas rakyat, angkringan juga semacam panggungnya rakyat berceloteh. Komunitas tersebut berasal dari segala umur dan berbagai profesi, mulai dari pelajar, tukang becak, sopir taxi, karyawan dan sebagainya.
Kali ini saya mencoba merekam celoteh tersebut kedalam sebuah tema: kesadaran. Mungkin kita tidak satu dua kali mengingatkan seseorang akan sesuatu, atau sebaliknya kita yang diingatkan. Seberapa cepat kesadaran terjadi, atau malah tidak sadar-sadar? Pada umumnya setiap kita mengerti bahwa sesuatu yang diingatkan itu adalah hal yang baik, namun alasan “belum siap” kerap menjadi persoalan bagi orang yang belum sadar.
Seorang pelajar mengajak balik temannya, Balik yuk, belajar—yak ntar!
Seorang ibu baper karena diingatkan suaminya memakai jilbab, Pakailah jilbab—aku belum siap pak, daripada aku pakai jilbab tapi kelakuan masih belum benar, kan memalukan?
Ada pula orang tua yang menasehati anak muda, Ingatlah akhirat—ah, ntar aja kalau sudah tua.
Ada lagi pembicaraan soal hutang piutang, Pedulilah kepada orang lain—boro-boro, ngurus diri sendiri aja sudah repot kok mau ngurusi orang lain?
Bahkan bencana gempa di Pidie tidak luput dari pembahasan, Bantulah sesama—mengapa? Mengapa saya harus membantu, bukankah itu pekerjaan negara?
Dialog singkat di atas sering kali kita dengar, dengan segala versinya. Pertanyaannya adalah, jika kita mengetahui bahwa sesuatu itu baik, mengapa tidak dilakukan? Mengapa harus menunggu dan kapan batas waktunya? Tentu ada serangkaian pertimbangan yang membuat seseorang dianggap belum memiliki kesadaran (bukan belum mengerti).
Coba perhatikan, hal utama apa sesungguhnya yang menyebabkan kegagalan sebuah kesadaran? Sering kali saat kita ingin memulai kesadaran, kita terjebak kepada sesuatu yang besar dan sempurna. Ingin usaha takut merugi; Ingin peduli dengan orang lain takut banyak kerjaan yang mengganggu, dan sebagainya.
Segala sesuatu berangkat dari sebuah awal atau titik nol. Jangan pernah membayangkan sesuatu itu diawali dengan titik 100 atau 1000 bahkan 10.000. Tidak ada seorang pun yang berhak menilai atau men-judge sebuah kesadaran. Jika anak terjatuh karena baru belajar naik sepeda, maka hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan. Biasa saja, jangan terlalu berlebihan meresponnya.
Jangankan yang baru memulai, bahkan yang mapan sekalipun belum tentu bisa membuat sesuatu yang besar dan sempurna. Contoh mahasiswa sekarang mengkritik, apa yang sudah diperbuat oleh mahasiswa dulu yang sekarang duduk sebagai anggota dewan? Itu menunjukkan tidak setiap orang bisa berbuat sempurna meski bukan tahap belajar lagi. Jadi mengapa selalu menunda untuk memulai?