Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Genderang Pilpres 2019 Sudah Mulai Ditabuh?

11 Januari 2017   13:08 Diperbarui: 15 Januari 2017   21:46 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat liga-liga elit dunia, selalu ada pengkastaan ataupun divisi. Di setiap negara ada yang dikategorikan divisi utama (super), kemudian ada pula di bawahnya divisi II, III dan seterusnya. Liga Champion juga dianggap lebih bergengsi ketimbang Liga Eropa (dulu Piala UEFA). Demikian pula dengan Pipres dan Pikada DKI.

Banyak sekali pengamat yang mengatakan bahwa Pilkada DKI dapat dijadikan sebagai “batu loncatan” untuk menuju ke Pilpres (atau RI 1). Mungkin mulai dipopulerkan oleh Jokowi, di mana berawal dari tokoh yang bukan siapa-siapa (hanya seorang Walikota Solo), dicalonkan menjadi Gubernur DKI 2012. Hanya dalam waktu yang singkat (tidak genap 2 tahun), kepopuleran Jokowi melesat memasuki liga super elit (pilpres).

Bayangkan, Jokowi yang dianggap berasal dari Divisi II merangsek dengan cepat berkompetisi di level liga utama. Mengapa bisa demikian, semata karena kursi gubernur DKI memang dikenal “panas” sebagai ancang-ancang menuju pilpres. Tren ini merubah dari tradisi sebelumnya, di mana nama-nama tokoh yang mengikuti pilpres kebanyakan berasal dari ketua partai, ataupun ketua dewan pembina partai.

Sebut saja nama-nama tokoh partai yang bisa disebut sebagai “langganan” peserta pilpres, seperti: Megawati, Prabowo, Wiranto, Yusril Izha Mahendra, Abu Rizal Bakrie (dulu ketum Golkar), SBY (sudah 2 periode menjadi presiden), Muhaimin Iskandar, Hary Tanoesoedibjo (ketum Perindo), Hidayat Nur Wahid (PKS), bahkan Jusuf Kalla (tokoh Golkar). Hanya Nasdem yang belum pernah terlihat menjagokan kadernya. Sementara beberapa nama yang tidak memiliki basis kuat di partai akan jatuh berguguran terlebih dahulu.

Sehingga dulu agak menjemukan juga mengikuti pilpres karena calon-calon yang ditawarkan hanya itu-itu saja. Mengapa jika diusung partai, maka harus ketua umum dari partai tersebut yang menjadi capres? Di Amerika Serikat dan di beberapa negara lain, seorang ketua partai sangat tidak populer ketimbang capres yang diusungnya. Tapi di Indonesia menjadi semacam keistimewaan bagi ketua partai karena berpeluang dijadikan capres.

Jokowi, empat tahun lalu (2012), bukanlah siapa-siapa, hanya seorang Walikota Solo untuk periode kedua. Bukan juga seorang kader partai (PDI Perjuangan) yang bukan pengurus ataupun selalu aktif terlibat dalam setiap urusan partai. Ia kader eksekutif yang memang ditugaskan menjadi kepala daerah—di PDI Perjuangan disitilahkan demikian, penyebutan kader disesuaikan dengan penugasannya, ada kader eksekutif, legislatif dan partai, dikenal 3 Pilar, untuk itu semuanya disebut “petugas partai”.

Entah secara kebetulan atau memang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh partai, nama Jokowi dari yang bukan siapa-siapa, kemudian hanya dalam waktu 4 tahun bisa menjadi presiden. Saya tidak tahu, mungkin lain ceritanya jika Jokowi tidak melewati “liga divisi” pilkada DKI terlebih dahulu. Jadi, tren capres yang sudah berubah tadi memunculkan “syarat” baru yakni, ikut dalam kontestasi Pilkada DKI.

Mari kita lihat siapa saja peserta yang ikut dalam liga divisi pilkada DKI. Di sana, sebagai calon dengan nomer urut 1 ada Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung dari presiden ke 6, SBY. Nama ini sejak awal sudah diprediksi bakal menjadi “penerus” dari gaya kepemimpinan era SBY. Keikutsertaannya dalam pikada DKI hanya sebagai “uji coba” untuk mengukur seberapa populer dan seberapa tinggi tingkat elektabilitasnya. Selain itu, pilkada juga dapat dijadikan ajang latihan “menempa” diri menjadi pemimpin sipil—mengingat selama karirnya AHY menjadi anggota TNI.

Pada nomer urut 2 ada Basuki Cahya Purnama atau Ahok. Siapa yang tidak kenal dengan nama yang satu ini (lepas dari prestasi maupun kasus-kasus yang menimpanya)? Banyak pula yang menggadang-gadang Ahok bakal berduet dengan Jokowi pada “liga super” Pilpres 2019 nanti. Mengingat betapa cocoknya mereka berpasangan saat memimpin Jakarta 2012-2014 yang lalu. Tentu saja “keinginan” ini hanya bisa terjadi bila Ahok tidak “terjatuh” pada kasus dugaan penodaan agama yang tengah membelitnya.

Nama berikut yang memiliki nomer urut 3, yakni Anies Baswedan. Seorang tokoh muda yang dianggap cerdas dan santun dalam berbicara serta sangat “patuh” kepada partai pengusung. Awalnya Anies dianggap lebih pantas mengikuti kontenstasi pilpres, memang di sana levelnya ketimbang ikut pilkada—ia pernah menjadi peserta konvensi capres oleh partai Demokrat. Namun sekali lagi, menjadi peserta (calgub) dan apalagi terpilih menjadi gubernur DKI, tentu sangat sexy dan akan memiliki nilai kredit yang lebih.

Nama lain yang sepertinya memiliki hasrat kuat menjadi capres adalah Prabowo dan Hary Tanoe. Siapa yang akan menjadi peserta dalam liga super pilpres 2019 memang akan sangat bergantung dari hitung-hitungan politik dari masing-masing partai maupun nama-nama yang disebutkan tadi. Layaknya tim sepakbola, tidak ada peserta yang ikut liga bertujuan untuk kalah. Masing-masing akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, bertanding untuk menang hingga meraih juara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun