Entah apa yang terjadi, dalam waktu kurang dari 24 jam, dua wanita muda meregang nyawa, tewas menjadi korban pembunuhan. Tri Ariyani Puspo Arum, ditemukan tewas dengan luka tusukan di tubuhnya. Tri Arum ditemukan tewas pada Senin (9/1) kemarin sekitar pukul 09.00 WIB di kamar kosnya, Jalan Kebon Jeruk RT 8 RW 11, Kelurahan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Jasad Tri ditemukan oleh temannya bernama Zainal Abidin.
Selanjutnya Murniati ditemukan tewas di rumahnya di Cipayung, Jakarta Timur, tadi pagi (Selasa, 10/1). Murniati (22) ditemukan tewas di rumahnya dini hari sekitar pukul 03.00 WIB. Murni merupakan mahasiswi semester IV Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan arsitek. Menurut ibu korban, Popong, Murni tidak memiliki pacar, "Dia nggak punya pacar, dia katanya capek pacaran," ujar Popong.
Dalam terminologi kriminal, lebih khusus lagi kasus pembunuhan perorangan seperti yang terjadi di atas, dilakukan oleh orang-orang dekatnya. Bisa keluarga, kerabat, kekasih, tetangga atau lainnya. Lepas dari siapa pelakunya, hal ini menunjukkan betapa rentannya posisi wanita dalam kehidupan yang “keras” sekarang ini, dan betapa sulitnya menjadi wanita di tengah hegemoni kaum pria.
Seseorang terlahir tanpa pernah memilih jenis kelaminnya, namun keadilan sebagai manusia hidup haruslah melekat kepada setiap orang, pria maupun wanita. Jika memang demikian, mengapa korban kekerasan sering kali berstatus perempuan? Bukan tidak ada wanita yang melakukan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap pria, namun prosentasenya kecil sekali. Pastilah ada penyebabnya, kenapa?
Bisa saja ini hanya kasusistik atau kebetulan korban adalah seorang wanita, namun sebuah kebetulan tidak kemudian menjadi dominan. Berdasarkan info grafis akun Menghitung Pembunuhan Perempuan di Facebook yang dibentuk oleh Kate Walton, aktivis dan penulis asal Australia, terlihat dari 91 pembunuhan perempuan, sebanyak 90 dilakukan oleh laki-laki dan 48 di antaranya oleh pasangan, dalam enam bulan pertama tahun 2016.
Sementara itu Komnas Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang diwakili Wakil Ketuanya, Yuniyanti Chuzaifah, menganggap perlu menghargai setiap upaya terkait perlindungan terhadap wanita. Menurutnya, inisiatif ini perlu diapresiasi karena Komnas Perempuan mendorong media untuk memberitakan agar mendapat perhatian negara dan publik sehingga ada perlindungan, pencegahan dan penanganan.
Komnas Perempuan tidak salah jika mengharapkan adanya semacam kerjasama antara seluruh elemen masyarakat serta pemerintah untuk memberi perlindungan kepada kaum perempuan. Sebagai contoh, semisal publik melihat ada pertengkaran antara laki-laki dengan perempuan yang mengarah kepada tindak kekerasan, apa yang dilakukan orang-orang? Mereka cenderung menghindar, tidak mau ikut campur.
Namun Komnas Perempuan juga diharap tidak hanya melakukan action paska kejadian saja, paling-paling melakukan sosialisasi. Tidak ada ide-ide atau gagasan baru yang dapat diimplementasikan dalam upaya menciptakan perlindungan. Misal, membuat usulan agar toilet pria dan wanita tidak bersebelahan, atau toilet wanita jangan terlalu tersembunyi. Bekerjasama dengan aparat ataupun pengurus RT/RW agar memantau kos-kosan yang mencampur antara wanita dan pria, ataupun rumah kontrakan yang “bebas”.
Komnas Perempuan juga bisa membuat pos pengaduan di tempat-tempat tertentu dan berlaku 24 jam (juga bisa bekerjasama dengan masyarakat). Pola perilaku juga bisa masuk di ranah Komnas Perempuan, bagaimana agar kaum perempuan bisa menjaga tindak perilakunya. Berpekaian yang penuh kesopanan, misalnya, dapat meminimalisir tindak pelecehan. Bagaimana jika pelakunya yang memang memiliki pikiran kotor? Mungkin saja. Setidaknya pelaku akan berpikir seribu kali.
Di Indonesia bahkan dunia, kita mengenal adanya hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Siapa yang menciptakan itu? Adakah peran atau campur tangan dari ajaran agama? Soal ini bisa diperdebatkan pada kesempatan dan tempat yang lain, karena ini wilayah private masing-masing keyakinan orang. Yang bisa saya sampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW sangat menghargai dan bisa bersikap adil kepada wanita.
Mungkin juga pemerintah melalui regulasinya. Ada beberapa peraturan yang dibuat pemerintah yang membatasi eksistensi perempuan dan justru menjadikan posisi perempuan menjadi “lemah”. Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, setidaknya ada tujuh Undang-undang yang dinilai belum memperhatikan aspek keadilan gender, yakni: UU Perkawinan, UU PPLN (Perlindungan dan Penempatan Pekerja Luar Negeri), UU Perlindungan Nelayan, UU Kesetaraan dan Keadilan Gender, UU Kekerasan Seksual, UU Perlindungan PRT, dan UU Kesejahteraan Sosial.