Bagaimana dengan budaya dan lingkungan sosial? Budaya dan masyarakat kita “mendudukkan” wanita pada posisi terlemah setelah anak-anak. Wanita hanya punya otoritas di dalam rumah, membantu keluarga (jika anak perempuan) dan mengurus rumah serta menjaga anak (jika istri). Tidak perlu pendidikan tinggi kalau toh kemudian nanti dilamar dan kemudian jadi istri ngurus rumah. Tingkat KDRT pun kemudian menjadi tinggi dan istri ataupun perempuan asisten rumah tangga yang menjadi lampiasan.
Hegemoni kaum pria mungkin saja baik dalam kondisi normal, namun dalam keadaan yang tidak seimbang, entah itu karena tuntutan ekonomi, stress pekerjaan di kantor, suasana macet di perjalanan, dendam cemburu, efek minuman keras, pecandu narkoba, dan sebagainya, menyebabkan laki-laki mencari pelampiasan ataupun orang yang bisa atau mudah dijadikan korban.
Dari sisi psikologis maupun medis disebutkan bahwa wanita lebih mudah marah, namun marahnya wanita tidak lebih kepada ucapan, atau justru malah berdiam diri. Berbeda dengan marahnya kaum laki-laki yang cenderung fisikal. Dapat dibayangkan, seseorang yang memiliki kekuatan lebih kemudian dalam kondisi marah (dengan segala penyebabnya) menyerang seseorang yang lemah (fisik) maupun keberaniannya.
Solusinya bagi kaum pria, hindari segala hal yang bisa menyebabkan faktor marah, bisa dengan menjaga pola hidup sehat, berolahraga, sehingga tidak mudah stress, istirahat yang cukup, jauhkan alkohol, obat-obatan dan narkoba. Perbanyak juga komunikasi, jangan menyendiri. Sebaliknya kaum perempuan, selalu menjaga diri di manapun berada, perluas wawasan akan kekerasan, bekali diri dengan “senjata” dan jika perlu ikut bela diri. Terakhir, berpikir bagaimana menciptakan sistem emergency untuk keamanan diri sendiri.