Kesejahteraan guru dan keberlangsungan sekolah swasta pada umumnya memang bergantung kepada jumlah siswa. Apakah jumlah siswa yang banyak serta merta meningkatkan pendapatan sekolah? Jawaban pertanyaan ini sangat bergantung dari lokasi sekolah (apakah di pedesaan atau perkotaan) dan bagaimana status sosial-ekonomi warga sekitarnya. Semakin diperkotaan dan semakin tinggi status sosial-ekonomi warganya maka kemungkinan peningkatan kesejahteraan guru dan keberlangsungan sekolah semakin tinggi, meski juga tidak menjamin.
Sekolah saat ini tidak hanya sebuah lembaga sosial melainkan sudah menjadi bagian dari industri pendidikan. Pihak sekolah hanya berorientasi kepada pendapatan melalui penerimaan siswa sebanyak-banyaknya, sementara orang tua siswa terkadang lebih mementingkan gengsi daripada fungsi (tidak apa mahal yang penting sekolah favorit). Padahal belum tentu sekolah mahal itu adalah juga sekolah yang berkualitas. Banyak sekolah hanya memperhatikan pembangunan fisik agar terlihat menarik, namun kualitas guru, materi dan metode pembelajarannya sangat lemah.
Sekolah swasta yang berada di pedesaan serta warga masyarakatnya tergolong menengah ke bawah, tentu sulit berpikir meningkatkan SPP serta sumbangan pembangunan mengikuti standar perkotaan begitu saja. Berpikir ingin melengkapi fasilitas yang serba mewah juga tidak mungkin karena tidak memiliki dana. Hal yang sangat mungkin adalah dengan meningkatkan kualitas proses belajar untuk anak. Ingin dikatakan, meski dengan SPP yang relatif kecil namun secara kualitas tetap terjaga.
Namun apakah ide peningkatan kualitas proses belajar ini hanya untuk menjawab soal bagaimana meningkatkan pendapatan sekolah? Jawabannya adalah tidak semata-mata, meski tidak dipungkiri dana juga memiliki peran penting. Sudah menjadi kritikan bahkan keprihatinan bersama bahwa sekolah saat ini bukan lagi sesuatu yang luhur dan dihormati. Dulu orang mendapat kesempatan bersekolah merasa senang dan bangga. Namun kini hanya semacam formalitas, bahkan sebagian masyarakat sudah mulai mengacuhkan dengan lebih memilih home schooling ataupun lembaga-lembaga bimbingan belajar, atau cukup dikursuskan ke lembaga keterampilan.
Pada hematnya, jangan salahkan dulu lembaga pendidikan alternatif seperti itu. Kita harus sering “bercermin” dan melakukan evaluasi mengapa bisa seperti itu? Apakah benar karena tuntutan zaman yang ingin serba praktis dan instan, atau karena sekolah saat ini yang tidak sekreatif lembaga pendidikan alternatif tersebut? Sekolah tidak berkembang dari zaman ke zaman, kering ide gagasan, tidak memiliki inovasi, dan guru yang kehilangan ruh pengabdian. Itu semua harus disadari sebagai kelemahan sekolah sebelum menyalahkan yang lain.
Maka tidak heran setiap pagi anak seperti “dipaksa” berangkat ke sekolah. Anak ke sekolah karena diperintah orangtuanya atau dimarahi jika melawan. Orang tua memandang kewajiban anak untuk ke sekolah, padahal yang sesungguhnya hak anak untuk sekolah dan kewajiban orang tua menyekolahkan (mendampingi, memfasilitasi dan membiayai). Sekolah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang menakutkan bagi sebagian anak, takut dimarahi guru jika tidak mengerjakan tugas, takut tidak bisa menerima materi pelajaran dengan baik, takut di-bullying karena berbeda, merasa aneh di lingkungan sekolah dan sebagainya.
Model dan cara seperti ini jika tidak dirubah hanya akan menghasilkan generasi muda yang traumatik, minder, penakut dan manja, serta selalu menyalahkan masa lalu sebagai pelampiasan kegagalannya.
Apakah kita semua memiliki kepedulian bagaimana perasaan anak di sekolah, merasa nyaman atau tidak, merasa senang atau tidak, ada perkembangan yang baik atau tidak, apakah sudah berhasil atau belum optimal, bagaimana tingkat kecerdasan, keaktifan, keimanan, perilaku dan sebagainya? Siapa yang akan memikirkan? Bukankah anak adalah generasi penerus bangsa yang akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ini kelak?
Sebelumnya sangat diyakini bahwa tidak mungkin sekolah bisa jalan sendiri melakukan perubahan. Sekolah butuh daya dukung dari pihak-pihak lain yang juga memiliki kepedulian yang sama (pemerintah, swasta, orang tua siswa, alumni, juga masyarakat sekitar). Namun sebaiknya sekolah juga jangan hanya berdiam diri jika pihak yang dimaksud belum “tergerak” bersama-sama. Sekolah juga bisa melakukan inisiatif ataupun prakarsa-prakarsa kecil untuk memulai perubahan. Bukan soal seberapa besar prakarsa itu, tapi seberapa berani sekolah melakukan sebuah prakarsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H