Rabu (28/12) kemarin saya mendapat informasi dari seorang guru yang tengah mengikuti acara sosialisasi dan pembagian hasil akreditasi untuk 940 sekolah di DIY. Yang menarik ketika guru tersebut bercerita bahwa banyak guru yang tidak ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya saat pembukaan, "Malah pada ngobrol...," gerutunya.
Apakah yang dinilai oleh lembaga akreditasi hanya urusan administrasi semata? Ini bagian dari fenomena lembaga standarisasi (penilai), bahwa yang dinilai hanya soal kelengkapan berkas-berkas dan bukan soal bagaimana praktiknya.
Saya jadi teringat di saat melakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk program agro forest yang disupport olehUNDP di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumsel dan Lampung) beberapa tahun lalu.
Sebagai lembaga donor, UNDP telah menyiapkan tool termasuk standarisasi penilaian, yang pada kebanyakannya mensyaratkan soal kelengkapan administrasi. Mulai dari pencatatan keuangan, penyusunan laporan (progress report), daftar kehadiran, foto dan dokumen lainnya.
Komunitas masyarakat penggunadan penerima bantuan pun dengan antusias mempresentasikan "hasil"program dengan menyiapkan dan menunjukkan bukti berupa berkas hingga bertumpuk-tumpuk. Apa yanng bisa dibuktikan oleh berkas-berkas tersebut?
Kertas dan laporan yang bagus sesungguhnya tidak bernilai apa-apa untuk mengetahui apakah program berhasil atau tidak? Dokumen hanya sebagai kelengkapan dari hasil yang sesungguhnya yakni di lapangan. Laporan dan dokumen dapat saja dibuat, namun"lapangan" sulit untuk dibuat-buat.
Saya lebih menghendaki bagaimana komunitas masyarakat tersebut menyelenggarakan pertemuan warga; bagaimana masyarakat berpartisipasi; bagaimana cara pengurus mengatasi masalah; bagaimana membangun akses dan jaringan; bagaimana dampak langsung yangdirasakan masyarakat dari hasil program, dan sebagainya.
Kemampuan seseorang dan praktik langsung ini yang tidak bisa direkayasa melalui pelaporan ataupun persyaratan administrasi lainnya. Sebaliknya, tipikal lembaga standarisasi hanya menilaidari kelengkapan administrasi. Mereka seperti tidak ingin dilelahkan oleh blusukan ke lapangan (melihat praktiknya).
Waktu yang seharusnyadimanfaatkan untuk "blusukan" justru digunakan untuk"jalan-jalan". Permintaan jalan-jalan ini dengan senang hati difasilitasi oleh lembaga yang akan dinilai. Semacam saling mencari keutungan, Tim Penilai ingin difasilitasi, sementara lembaga yang dinilai ingin mendapat nilai yang baik.
Petugas penilai menjadi semacam orang yang sangat berkuasa sehingga bisa memanfaatkan kekuasaannya tersebut. Sementara lembaga yang dinilai menganggap hidup matinya mereka berada di tangansi petugas penilai. Terjadilah apa yang disitilahkan "kong-kalikong".
Tradisi, metode dan tool evaluasi semacam ini sudah harus dirubah. Praktik di lapangan harusnya menjadi fokus utama dibanding dengan bentuk dan isi laporan (report). Kelompok sasaran program harus menjadi subyek utama dalam penilaian hasil program (bukan hanya pengurus).