Mengapa dan untuk apa kita merayakan Hari Sumpah Pemuda tahun ini? Pertanyaan ini dilontarkan seorang mahasiswa dalam suatu kelas diskusi pelataran Fakultas Sastra (FIB) Unhas. Pertanyaan yang semaksud, apa urgensi Sumpah Pemuda yang diproklamasikan 83 tahun lalu itu bagi kaum muda, khususnya mahasiswa hari ini? Mengapa sumpah pemuda mahasiswa tidak diganti saja menjadi “bersumpah anti korupsi, anti oligarki, dan anti kapitalisasi?”.
Untuk menjelaskannya, maka pertama-tama saya sendiri harus meyakini bahwa dunia saat ini sedang krisis. Sistim ekonomi liberal-kapitalistik telah memicu berbagai krisis ekosob; peperangan, oligarki kekuasaan, monopoli, korupsi, kemiskinan, penggusuran paksa, dan bencana ekologis merupakan gejala permanen yang melanda masyarakat dunia dewasa ini. Bahkan, stabilitas ekopol negara-negara maju pun tengah mengalami goncangan hebat. Protes kaum muda di Prancis, Italia, dan Inggris tahun lalu, hingga pendudukan Wallstreet, Melbourne, Amsterdam akhir-akhir ini. Semua itu menyadarkan kaum muda Indonesia, setidaknya mereka yang menggelar diskusi tersebut, semakin 'pede' pada sikap dasar anti-kapitalisme dan neoliberalisme. Sehingga cita-cita meruntuhkan supremasi kapitalisme bukanlah sebuah utopia.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana atau darimana memulai perlawanan terhadap dan memecahkan sumber krisis itu? Pada titik ini, dua cara pandang yang mengemukan dalam diskusi. Pertama, kaum muda mahasiswa seharusnya mengoptimalkan peran strategisnya sebagai kekuatan kritik dan pressure group. Semakin besar kemampuan menggalang dukungan basis massa akan semakin kuat tekanan, dan semakin besar pula kemungkinan sebuah rezim ditumbangkan. Terbukti, penguasa Orba dijatuhkan melalui tekanan massa pemuda-mahasiswa pada tahu 1998. Cara pandang ini menegasikan arah pemikiran yang kedua, yakni berbagai praksis social-control yang dikembangkan organisasi masyarakat sipil di luar kampus. Umumnya, aktivis organisasi kemasyarakatan menformulasikan gerakanya pada kontrol terhadap kekuasaan, yakni mengadvokasi praktik-praktik korupsi, oligarki, dan privatisasi, tetapi cenderung menyembunyikan juga mengabaikan jargon-jargon ideologis. Pada tingkat akar-rumput, misalnya aktivis LSM merawat tuntutan-tuntutan populis masyarakat dampingannya tanpa perlu membuka selubung suatu ideologi-politik. Strategi dan taktik seperti ini dipandang oleh kaum muda mahasiswa, tidak akan memecahkan pokok permasalahan dan sumber krisis. Malahan strategi itu dikhawatirkan hanya akan melanggengkan kapitalisme.
Tanpa bermaksud menilai kondisi kaum muda mahasiswa dewasa ini, ada kesan mereka sedang mengalami kebuntuan wacana pergerakan sosial. Di satu sisi mereka berasumsi bahwa dukungan basis massa merupakan prasyarat keberhasilan gerakan, pada saat yang sama, mereka merasakan (kebuntuan) betapa sulitnya melembagakan nilai-nilai kepemimpinan dan visi gerakan sosial di kalangan mahasiswa. Di satu sisi mereka mengklaim kapitalisme adalah sumber krisis yang nyata, pada saat yang sama mereka kurang terlibat atau mengambil jarak dari persoalan kebangsaan, misalnya oligarki parpol dan korupsi pejabat yang kian menggerogoti eksistensi berbangsa dan bernegara. Di satu sisi, masyarakat menuntut mahasiswa berperan optimal sebagai motor perubahan sosial-politik, pada saat yang sama, masa aktualisasi diri mereka di kampus relatif pendek. Selain itu, ada tuntutan administrasi akademik yang membatasi ruang aktivisme mereka di dalam kampus.
Nampaknya, transisi politik pasca reformasi 1998 diterima sebagai kenyataan pahit oleh kaum muda aktivis mahasiswa. Perubahan formasi dan prosedur politik tidak otomatis menciptakan kultur politik kerakyatan, masih tetap elitis, dan oligarkis. Peran parpol tidak jauh beda dengan parpol pada masa Orba, malah lebih gila karena dikendalikan pemilik modal. Politisi memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan dengan cara menggerogoti keuangan negara sudah menjadi pengetahuan orang awam sekalipun. Sementara pemecahan masalah kemiskinan, buruknya layanan publik, kerusakan sumberdaya alam, dan berbagai konflik komunal tidak menjadi tujuan pokok agenda pemerintahan. Soal-soal seperti ini semakin mengukuhkan pandangan negatif tentang politik, kekuasaan, parpol, dan kepemimpinan nasional. Pendek kata, pemerintahan reformasi dan kabinet SBY jilid II ini dianggap gagal. Dan, karena alasan-alasan itu pula sebagian kaum muda aktivis prodemokrasi menuntut SBY-Boediono mundur.
Perbincangan semakin menarik, ketika muncul pertanyaan spontan, “setelah itu apa?”. Ada tiga wacana yang merespon persoalan ini. Pertama, tetap memposisikan moral-force gerakan kaum muda mahasiswa sebagai penyokong utama perubahan sosial. Mereka bukan kekuatan politik yang berorientasi pada penguasaan struktur politik. Sikap dasar ini juga mewakili pegiat LSM. Dan, hal ini mengingatkan kita pada momentum reformasi politik 1998, dimana struktur dan kesempatan politik kemudian dibajak dan dikendalikan kelompok status quo didukung para kapitalis. Akibatnya, proses demokratisasi mandek, kehilangan substansi, juga sangat mahal, dan; karena itu memicu konflik yang tidak berujung hingga kini.
Sikap dasar kedua dari pertanyaan di atas adalah mengharapkan kaum muda mahasiswa secara progresif mendorong gerakan rakyat (gersos) untuk mewujudkan reformasi politik sejati. Kaum muda mahasiswa dituntut secara konsisten menjabarkan pemikiran kritisnya menjadi tindakan-tindakan (praxis) yang membebaskan rakyat dari pembodohan politik, pemiskinan, dan kehilangan kontrol atas sumberdaya agraria (alam). Sikap dasar ini dibutuhkan dalam situasi dimana aktor-aktor politik termasuk kaum reformis semakin jauh dari basis ideologinya. Gagasan yang ditawarkan adalah mempertautkan (akselerasi dan agregasi) kepentingan rakyat dengan kekuatan politik kaum muda mahasiswa. Dan, ini berarti kaum muda mahasiswa diposisikan sebagai kader pemimpin bangsa.
Sikap dasar yang ketiga, menuntut kaum muda mahasiswa membongkar paradigma pendidikan saat ini yang dirasakan telah mengkotak-kotakkan dirinya dalam ruang-ruang kelas secara disipliner. Kaum muda mahasiswa merasakan sistim pendidikan nasional telah menciptakan kehampaan akibat rutinitas akademik. Meskipun hidup dalam semangat reformasi dan terbukanya akses pada teknologi informasi, watak dasar sistim pendidikan di perguruan tinggi relatif sama dengan masa NKK/BKK. Dan, karena itu perubahan paradigmatik ini pertama-tama bertujuan membebaskan mahasiswa itu sendiri dari ilusi dan ketakutan akan masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H