Judul tulisan ini "Pegiat Sastra dalam Kebebasan Informasi" yang akan dimuat dalam Majalah Sastra Remaja Lentera di kabupaten Pangkep. Sengaja saya posting di sini untuk memperluas akses, dan sebagai apresiasi saya pada majalah tersebut. Terima kasih telah mestimulasi ingatan kesastraan saya kembali. *****
Bagi siapa saja yang menggeluti dunia sastra, maka pertama-tama dia meyakini kebebasan individu untuk berekspresi dan menyuarakan rasa cintanya pada kehidupan. Dalam pengandaian sehari-hari bisa diamati dalam rumah tangga, ketika seorang remaja mulai dikekang kebebasannya, pada periode itulah dia mulai banyak omong, bahkan dia mulai menulis curahan hatinya ke dalam buku atau kepada teman sebayanya. Dalam pengandaian lain, banyak karya sastra besar, bahkan sastrawan peraih nobel, justru dipicu oleh kungkungan tradisi maupun pembatasan atas kebebasan oleh penguasa. Begitu berharganya kebebasan dalam dunia sastra, sehingga para ahli menyatakan bahwa karya sastra adalah batas dari kebebasan itu sendiri.
Dunia sastra dewasa ini memasuki suatu era yang revolusioner, yakni teknologi informasi, termasuk kebebasan pengguna di dalamnya. Era, yang belum seabad usianya, tetapi membuat orang-orang tua tercengang menyaksikan kecanggihan dan kebebasannya. Belum pernah terjadi, ketika informasi apa saja bisa dibaca dan bisa ditanggapi hanya dalam hitungan detik, sekalipun di kamar mandi. Penemuan mesin komputer, seluler, dan teknologi digital lainnya semakin menegaskan arti kebebasan itu. Kebebasan dalam satu dasawarsa terakhir nyaris tidak perlu diperjuangkan lagi, sebagaimana tuntutan seniman, sastrawan maupun intelektual era tahun 80-an. Semua tersedia, ibarat menu hidangan yang merangsang setiap orang untuk memilih sesuai minatnya. Maka, kebebasan pun menjadi sesuatu yang dipertanyakan lagi.
Pengamatan awam di beberapa negara Asia, seperti di China atau pun Thailand, ternyata aksesibilitas informasi internet dibatasi, yang artinya kebebasan setiap orang dikelola sesuai dengan aturan dan kepentingan pemerintahnya. Tidak mudah menemukan warnet maupun warkop-warkop wifi di sembarang tempat seperti di Indonesia (baca: “Makassar Seribu Warkop”). Bagi pemerintah di sana, kebebasan yang diciptakan oleh teknologi informasi hanya bisa dibatasi atau disaring oleh negara. Dengan begitu, dampak yang ditimbulkan oleh trend kebebasan informasi itu tidak menciptakan perubahan yang justru bersifat negatif (pro-konrra) bagi masyarakat dan pemerintahan itu sendiri.
Pertanyaan yang harus dijawab oleh para pegiat dan pendidik seni-sastra, apa peluang dan tantangan yang disediakan teknologi informasi dewasa ini, dan bagaimana mengisi dan memanfaatkannya? Jadi, kebebasan di dalamnya, bersifat positif. Orang tua dan para pendidik tidak lagi menegasi perubahan zaman dengan menolak (ancaman) kebebasan informasi itu, tetapi menjadikannya sebagai tantangan sekaligus peluang. Misalnya, buku dan bacaan sastra tersedia secara bebas di berbagai situs internet, siap diunduh dan dicetak sendiri. Mahakarya seni, karya sastra, drama dari penulis-penulis besar, dan film-film dokumenter dengan mudah diakses. Sekian lama tidak terbayang aksesibilitas itu terjadi dalam hitungan detik. Sebaliknya, bahan pengajaran dan karya sastra sendiri mudah disebar kepada siapa saja. Bukankah hal ini lebih ekonomis dan massif?
Tentu saja ada kondisi yang memerlukan kecermatan setiap orang dalam mengakses produk teknologi informasi. Inilah tantangan pegiat sastra dan para pendidik yang harus diatasi sebelum memasuki kebebasan informasi digital.
Pertama, ruang kebebasan mengakses produk teknologi informasi itu bukan ciptaan sendiri, dan karena itu kebebasan kita bergantung pada agenda setting penciptanya. Artinya, kita berpotensi hanya menjadi atau dijadikan konsumen alias pengguna. Dengan kesadaran ini, kita seharusnya memanfaatkan prinsip dasar dari globalisasi informasi, yakni efisiensi dan kecepatan. Tidak perlu membeli produk yang mahal jika hanya ingin mengakses informasi.
Kedua, ketersediaan dan keluasan informasi berpotensi membuat kita kehilangan fokus dan prioritas. Akibat lebih jauh, pengetahuan banyak, tetapi tindakan nihil, atau kenalan luas, tetapi pergaulan sosial terbatas. Menyadari ini, maka penting ada kejelasan tujuan dalam mengakses informasi digital. Seharusnya, pengguna internet jauh lebih pandai, kreatif, dan cepat bertindak.
Ketiga, informasi internet itu lebih ringan dan tidak berbatas ruang-waktu. Satu keping DVD bisa memuat ratusan sampai ribuan naskah sastra, yang jika dicetak memerlukan satu gudang penyimpanan. Ini yang membedakannya dengan informasi yang dikemas dalam bentuk cetakan buku, majalah, koran, dan semacamnya. Menyadari hal ini tidak berarti buku-buku sastra di perpustakaan pribadi dan umum menjadi tiadk berguna. Dalam pengertian awam, yang dimaksud karya sastra adalah naskah cetakan yang nyaman dibaca dimana saja tanpa perlu bayar. Hal sebaliknya terjadi, mengakses naskah sastra lewat internet memerlukan alat dan berbayar.
Keempat, pelajaran dari semua itu rasanya belum ada seniman dan sastrawan besar yang lahir dari kebebasan mengakses teknologi dan popularitasnya di internet (beda dengan kasus udin aceh atau pun briptu norman). Para sastrawan itu besar dan mengakar karena karyanya dibaca dan dikaji secara intensif dan fokus (khusus). Mereka dikenali secara mendalam karena kehadirannya secara kasat mata dan interaksi langsung dengan publik.
Beginilah situasi yang kita hadapi saat ini. Para pendidik sastra dan siswa-siswinya suka atau tidak suka telah memasuki revolusi teknologi informasi. Menolak tren perubahan itu, rasanya tidakmungkin, tetapi menelannya bulat-bulat bukan tanpa resiko. Fakta bahwa kaum remaja dewasa ini rata-rata memiliki mesin seluler tidak terbantahkan. Pada saat yang sama banyak opini tentang mesin-mesin digital itu telah membawa perubahan persepsi dan perilaku kaum remaja tentang budayanya sendiri.