Mohon tunggu...
Awi MN
Awi MN Mohon Tunggu... -

alumni fsuh. saat ini bekerja untuk upc - jaringan rakyat miskin kota indonesia.penulis rumahkampungkota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapresiasi Tema World Habitat Day 2011

26 Oktober 2011   09:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:29 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peringatan Hari Habitat Dunia dan Tata Ruang Nasional dipusatkan di anjungan Losari Makassar. Sayangnya, acara nasional maupun internasional seperti ini selalu terbatas pada seremoni. Acara ini menjadi terpisah dari opini publik penghuni ruang, dalam pengertian tanpa refleksi atas model pengembangan tata ruang wilayah di Sulsel dan kota Makassar berkaitan dengan dampak perubahan iklim, semisal potensi bencana sosial dan bencana alam. Ironisnya lagi, yang terungkap di media massa adalah heboh perbedaan kepentingan antara gubernur dengan walikota.

Bagi penulis, publik perlu mengapresiasi aspek tematik Hari Habitat Dunia sebagaimana yang dirilis setiap tahun oleh organ-organ PBB. Dari refleksi mereka, publik bisa membaca dengan benar situasi kota dunia dewasa ini dan di masa datang. Sebagian referensi tulisan ini diolah dari website UN-Habitat dan UN-ISDR, serta situs organisasi jaringannya.

Ada dua agenda penting PBB pada setiap bulan oktober: World Habitat Day (WHD) atau "Hari Habitat", dan World Disaster Risk Reduction Day (WDRR) atau "Hari Pengurangan Resiko Bencana". Perayaan WHD dikordinasi oleh UN-Habitat, badan PBB urusan hak atas pemukiman dan perumahan pada setiap minggu pertama bulan oktober. Sedangkan WDRR dikordinasi oleh UN-ISDR, badan PBB urusan bencana, yang menggalang kampanye pengurangan resiko bencana pada setiap minggu kedua oktober. Kedua agenda PBB ini sesungguhnya merefleksi sekaligus mengevaluasi dampak pembagunan dunia yang senantiasa dibayang-bayangi kemiskinan, krisis pangan, dan kerusakan sumberdaya agraria akibat perubahan iklim. Dalam tulisan ini, kedua agenda tersebut diulas keterkaitan dan kontekstualitasnya berdasarkan rilis PBB dan organisasi mitranya seperti HIC (Habitat for International Coalition), SELVIP, dan LOCOA, yang tergabung dalam The Liaison Committee (semacam komite penghubung).

UN Habitat merilis tema sentral "Resistensi dan Alternatif Hak atas Habitat" (Resistance and Alternatives for the Right to Habitat, lihat http://worldhabitatdays.org). UN Habitat menggalang aksi dan kampanye global dengan dua isu strategis, yakni: (1) Sebab dan akibat dari penggusuran paksa (forced eviction), perampasan tanah (land grabbing), serta pemiskinan masyarakat pedesaan dan perkotaan berkaitan dengan konflik habitat, dan; (2) Solidaritas untuk para aktivis yang memperjuangkan hak atas atas tempat tinggal (habitat), yang menjadi korban oleh represi dan pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Lebih khusus, kampanye tersebut bertujuan mengidentifikasi dan mengembangkan kapasitas jaringan dan organisasi yang bekerja pada isu-isu habitat kota menuju dunia yang lebih baik (another possible world). Materi kampanye ini merupakan hasil analisis atas konsekuensi kebijakan neoliberal dan korupsi sistemik yang memiskinkan kelas masyarakat yang paling rentan secara ekonomi maupun sosial di pedesaan maupun perkotaan. Kampanye ini juga menyiratkan perlunya penguatan solidaritas antara gerakan dan jaringan, serta para aktivis rakyat yang menjadi korban represi aparat ketika memperjuangkan hak atas perumahan dan tanah tempat tinggal.

Penggusuran pemukiman diidentifikasi sebagai prioritas masalah bersama, sehingga perlu mengkoordinasikan perlawanan nyata terhadap hal tersebut. Penggusuran yang paling umum adalah pelanggaran atau perampasan hak atas tanah. Berbagai kasus menunjukkan bahwa penggusuran merupakan dampak dari kebijakan yang spekulatif, misalnya pasar (bebas) tanah, dan proyek-proyek mercusuar (mega-project) yang padat modal, yang bias perkotaan. Model pembangunan yang tidak mempertimbangkan HAM telah mengorbankan penduduk yang paling rentan (miskin), petani kecil dan masyarakat adat yang menguasai lahan. Laporan lainya menyoroti konflik sosial yang diciptakan oleh perluasan sistim mono-kulltur dan privatisasi sumberdaya air, termasuk pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga air di daerah pedesaan dengan mengorbankan budaya pertanian yang sekian lama menjamin kedaulatan pangan masyarakat agraris.

Diperkirakan 15 juta orang tergusur dari tanah tempat tinggalnya setiap tahun, yang disebabkan proyek-proyek mercusuar, bencana dan perang (lih.http://www.witness.org). HIC-HLRN (Housing and Land Right Network, http://www.hlrn.org/english/home.asp) tahun 2008 - 2010 melaporkan empat tipe konflik hak atas habitat, yakni penggusuran (600 kasus), pengrusakan (demolition, 366 kasus), perampasan hak milik (disposession, 333 kasus), dan deprivasi yang dipicu oleh privatisasi perumahan, tanah dan pelayanan publik (46 kasus). Di Indonesia, dalam tiga tahun terakhir sedikitnya 1.061.566 orang menjadi korban pembangunan ala neoliberalisme dan rezim korupsi.

Dalam siaran persnya, UN Habitat menegaskan bahwa saat ini tidak ada pihak yang benar-benar bisa meramalkan masa depan sebuah kota atau negara dalam waktu 10, 20 atau 30 tahun dari dampak perubahan iklim. Di era kota baru (new urban era), dimana sebagian besar umat manusia sekarang tinggal di wilayah perkotaan, dampak terbesar dari bencana akibat perubahan iklim dimulai dan diakhiri di kota-kota. Pertumbuhan kota sangat berpengaruh besar pada peningkatan perubahan iklim. Demikian sebaliknya. Sementara sifat spekulatif kota dan keterbatasan sumberdaya daerah perkotaan tiidak cukup untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Bias dari kebijakan pembangunan perkotaan berakar pada level pemerintahan tertinggi dan para petinggi perusahaan (kapitalis). Keduanya terus mereplikasi kebijakan agraria (pertanahan) yang tidak adil, yang kemudian mengabadikan pelanggaran hak atas tanah penduduk pedesaan dari masa ke masa. The Liaison Committee WHD, yakni organisasi masyarakat sipil sebagai Pelapor Khusus tentang Hak atas Perumahan untuk PBB, juga menegaskan bahwa tidak ada solusi tunggal yang dinilai berhasil mengatasi pengaruh perubahan iklim dengan cara memindahkan model pembangunan kota ke desa. Kenyataannya, bias perkotaan berakibat pada pengrusakan habitat atas nama perubahan iklim, yang mengorbankan penduduk pedesaan. Dengan krisis keuangan global dewasa ini, semua proses itu akan mengakselerasi konflik sosial, lapangan kerja dan peperangan. Oleh karena itu, tuntutan alternatif yang mendesak hari ini dan akan datang adalah dengan segera mengintegrasikan/mempertimbangkan persoalan tersebut dalam rangka mencegah pelanggaran hak dasar atas tanah dan tempat tinggal, menjamin keadilan sosial dan lingkungan hidup untuk berkontribusi bagi pembangunan dunia yang lebih baik (anoher possible world).#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun