Mohon tunggu...
Gaya Hidup

Tentang Kita, tentang Kemafar

3 September 2016   08:47 Diperbarui: 3 September 2016   10:01 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

saya awali artikel ini dengan cerita tentang masa pengabdian masyarakat -baca:KKN-. Tepat 14 Juli silam saya mulai dikenalkan dengan sebuah Desa yang belum pernah terpikirkan dalam benak saya. Desa Singki,Kecamatan Anggeraja,Kabupaten Enrekang itulah nama formalnya. Walaupun masa disana bisa dikatakan ekspress tapi sejatinya saya beruntung dapat menemukan kultur Indonesia yang masih terawat. Tentu saja yang paling mengemuka adalah keramah-tamahan,kekeluargaan,dan gotong-royong. Sebuah hal yang masih terjaga padahal arus zaman telah menghilangkannya di kota tempat saya berdomisili saat ini,Makassar. Dan tak bisa dipungkiri,fakta bahwa tak bisanya masyarakat desa kami menikmati fasilitas jaringan telekomunikasi justru sanggup membentengi dari arus budaya pop yang serba pragmatis. Dan sejatinya saya tak layak menyebut apa yang saya berikan selama disana sebagai pengabdian,melainkan sebuah pembelajaran tak terlupakan. Dan pada Akhirnya setelah 2 pekan meninggalkan lokasi saya masih terpanggil kembali menyeruput kopi pagi di kaki gunung Lakawan sana.

Sejujurnya fase awal cukup membuat saya merasa menemukan keluarga baru. Tapi sebagai makhluk manja,pada akhirnya takluk oleh keterbatasan melihat dunia luar. Semuanya bermula ketika saya tinggalkan lokasi dan kembali ke Makassar. Tujuan awalnya mungkin hanya ingin mengambil kendaraan operasional. Tapi apa boleh buat,separuh jiwa saya ternyata tak mampu kubawa kembali ke Singki. Entah karena temu yang kurang greget atau amanah yang belum tuntas. izinkan saya menyebutnya rindu.

Saya tiba kembali di Makassar dengan sayup semangat mengobati rindu. Mulai dari kegiatan ramah-tamah,diskusi dengan kawan aktivis,hingga temu asisten korps laboratorium biofartoks. Bahkan dengan itu saja sudah cukup menyadarkan bahwa tempat pulang terbaik tetaplah KEMAFAR. Apa lagi prosesi transisi kepemimpinan sudah menuju ambang akhir. Sebuah penanda bahwa generasi baru telah siap menerima tongkat estafet keberlanjutan roda organisasi.

Dewasa ini kata pesta dengan demokrasi seolah tak lengkap jika tak disandingkan. Tak salah memang,Selama kita kembalikan ke dalam terminologi yang sejalan dengan realita. Dan untuk itulah saya menulis ini untuk segenap keluarga. Kita harus menempatkan pesta pada tempatnya dan mendudukkan demokrasi pada kursinya. Yang saya maksudkan adalah tak meluputkan kata bahagia selama proses ini berlangsung. Dan itu pun berarti meredam egoisme atas nama apapun. Entah itu gengsi angkatan, bendera yang berdiri di balik kandidat

Berbekal pembelajaran selama KKN tadilah,saya semakin tak percaya dengan demokrasi yang terbiasa menyisakan luka menganga di akhir pesta. Saya selalu percaya adopsi kebudayaan bukanlah opsi bijak bagi kita yang dibesarkan oleh peradaban sendiri. Tapi karena kita sendirilah yang tak melestarikan,kita baru tersadar ketika kita kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa dengan peradaban luhur. Namun apa boleh buat kultur asing -baca;demokrasi- telah terlanjur menancapkan akar di hampir setiap sendi kehidupan berbangsa. Sebuah kontradiksi yang harus bersedia dijalani. Yang terpenting adalah tak melupakan tujuan utama "Demi Jaya Kemafar-UH".

Kembali tentang pemilihan nahkoda baru KEMAFAR-UH saya hanya ingin menitipkan 3 pesan kepada saudara pemilih :

Satu, masa depan Kemafar-UH ada di tangan kita bersama. Memilih salah satu kandidat bukan hanya berarti memilih pribadinya,melainkan memilih mereka yang bersedia menjadi suksesornya ketika amanah itu digenggam. Jadi,ketika anda menemukan seorang yang bertahan dalam pilihan meski mungkin telah menemui akumulasi kekecewaan,positif thinking saja lah. Mungkin ia sedang berjuang menuntaskan apa yang telah ia mulai dengan penuh tanggung-jawab.

Kedua,Sejak awal berdirinya organisasi ini hingga sekarang ada hal yang tak berubah,Kita adalah keluarga. Maka seyogyanya demikianlah kita berproses. Sebagaimana kata adik tak akan lahir jika kata kakak tak hadir di dunia,segala sesuatu berpasangan. Jadi, ketika ada sesuatu yang kurang elok dalam pandang atau tak sedap dalam pendengaran,sudilah didialogkan dan didiskusikan bersama.

ketiga,Ajakan saya dalam tulisan ini sangat jelas tidak untuk mengajak golput. Walaupun saya sendiri akan memilih nomor 3. Maksudnya? Saya sudah memilih seorang dengan identitas nomor 3. Bukan hanya karena sejak masa sekolah hingga ia kuliah tak pernah lepas dari nomor 3. Namun juga karena hari ini 3 September kurang lebih tepat 3 tahun saya bertemu dengannya di sabtu siang di depan sebuah meja di sudut laboratorium biofarmasi. Mohon doanya ya semoga pilihan ini diridhoi Tuhan. terimakasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun