Mohon tunggu...
Humaniora

Katamu,Tiada yang Lebih Puitis dari Bicara tentang Kebenaran

5 November 2015   04:36 Diperbarui: 5 November 2015   05:16 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau boleh daku ingin memulai kisah ini dari 2 tahun silam. Menjadi Mahasiswa seperti halnya sekarang mungkin pernah tak terpikir sama sekali. maklum lah,lingkungan sebelum saya memasuki keluarga kecil ini punya orientasi lain tentang makna masa depan. Masa depan bagi mereka adalah yang penting punya penghasilan dan bertahap menjadi mapan oleh ketekunan. Ya.tak sepenuhnya salah, tapi hidup tak semembosankan itu yang kuinginkan.

bagiku hidup tak melulu tentang tersedianya apa yang mereka sebut sandang,pangan,ataupun papan. Buktinya, saat ini hampir separuh oksigen saya hirup di kampus,berlapar ria sudah menjadi kebiasaan, kemeja pun hampir setiap hari bukan yang menjadi hak milik, apatah lagi tidur beralas ubin. Sehat? tentu saja tidak jika ilmu barat yang dijadikan rujukan. Namun jika ditanya bahagia atau tidak? insya allah saya ikhlas berkata iya.

ya,itu mungkin sedikit pengantar gagasan menyebalkan saya  di cerita ini. JIka dibilang pandai menulis,saya kira tidak. Di kolom ini saja baru sekarang ini saya mengisinya. Disini saya hanya ingin berbagi kegelisahan saya memahami kehidupan mahasiswa kekinian. Bukannya saya hasil reinkarnasi dari masa lalu,hanya saja kecintaan saya kepada sejarah berbuah keyakinan autentiknya kisah yang saya lahap dari beberapa buku.

Dalam beberapa torehannya,abangku (baca:Soe Hok Gie) selalu saja menuang mimpinya dalam kertas. Saking kagumnya,mungkin karena itu juga saya bangga jadi pemimpi. Jadi isi mimpinya kurang lebih begini. "Pada saat waktu kuliah,mahasiswa datang secara serius mendengarkan meski kadang-kadang membosankan". Yah,kalau memang kadang-kadang ya tak masalah. Tapi kalau selalu mah tak betah juga. Makanya tak usah heran ketika ruang kuliah lebih mirip teater untuk paduan suara. Sederhananya semua serba ngikut dirigen, padahal siapa tahu dosennya butuh sedikit bantahan. Toh,mereka juga bukan Tuhan yang mutlak memiliki kebenaran.

Kemudian dia bilang "Pada saat laboratorium,kadang-kadang mereka berdiskusi secara sungguh-sungguh tentang suatu masalah". Bentar ya bang,saya bukannya mau nyela karena sok tahu. Tapi,faktanya bukan diskusi yang kutemukan. Saya lebih suka menyebutnya sebuah cerita dongeng bernuansa mistis. Gak paham? Jadi sebenarnya untuk waktu bereskperimen selama praktikum paling 2 jam sudah selesai. Tapi namanya juga berdongeng, pembukaan dan penutupan ya kudu ada dong dan wajib punya durasi lebih,namanya juga acara inti. Belum lagi, setelah itu rentetan kertas-kertas menumpuk (baca:laporan) di depan mata sebagai prasyarat. Selembar dua lembar mah wajar. Lah ini sering sampai belasan halaman. Kapan waktu untuk meresapi isinya kalau dari bangun tidur sampai tidur lagi justru kertas-kertas ini yang menuntut diperhatikan.

Buat beberapa orang hidupku mungkin masih normal. Tapi tunggu kelanjutan kisahku. Di tempatku, kami bahkan lupa bedanya tanggal merah atau hitam. Entah karena saking asyiknya di kampus atau lupa lihat kalender. Permintaanku sejujurnya sederhana. Paling tidak sabtu dan ahad saya bisa bertatap muka dengan adikku, bermain dengan bola kesayanganku, dan tentu karena sudah menjadi kewajiban ya mengurusi rakyatku. Mahasiswa kekinian mungkin bertanya "untuk apa?". Jawabku sederhana, separuh biaya kuliahku mereka yang bayarin, masa iya saya lupa begitu saja. Sebagai "the happy selected few" saya juga ingat kelak saya sama teman-teman segenerasi yang akan duduk di sofa mereka yang banyak nongol di media itu. Tapi semoga kami tak terlelap dengan nyamannya sofa itu pada saat bahas rakyat. Dan semoga kami tak mewarisi kelakuan mereka yang suka simpan di kantong uang negara.

Dan mengenai mimpimu "Mereka juga dapat bersikap tegas di saat menentukan,berani terjun ke jalan-jalan raya menghadapi panser tentara yang ingin merobek-robek kemerdekaan bangsa". Rasanya itu hanya akan jadi mimpi. jangankan untuk berparlemen di jalanan, menyerukan hak sendiri pada saat tertekan tingkah birokrasi saja kami begitu pengecut. Sepertinya memang benar kata Mas Sujiwo Tejo "generasi muda saat ini takut berbuat". Mau romantis.eh disangka galau. Perhatian dikit,eh dikira modus. Bahkan berpendapat pun dibilangi curhat..

Sadar atau tidak,kemerdekaan kami perlahan dirampas. Ya.model penjajahan masa kini adalah penjajahan kesadaran. Banyak yang merintih,tapi hanya segelintir yang berani berteriak lantang. Banyak yang berwawasan,tapi hanya seiprit yang rela mengaplikasikan ilmu. Kebenaran sejati memang bersumber dari langit. tapi bukan sebuah alasan untuk tak memperjuangkannya di bumi. Semoga mimpimu kelak bisa kuwujudkan,bang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun