Katamu semuanya biasa saja, hanya sedikit saja yang berubah. Waktu berlalu seperti seharusnya, situasi terjadi selama berhari-hari hingga sekian bulan, bahkan terhitung berdurasi puluhan tahun tanpa adanya perubahan yang signifikan.
Katamu musim hujan acapkali terjadi, tapi masih banyak yang merasa kekeringan. Ragam situasi tak sesuai harapan, ragam angan-angan tinggal sebatas kenangan yang menyesakkan.
Katamu musim kemarau kerap menjadi sembilu, kadar ingin dibuat tak menentu, kadar harap sebatas angin lalu, apalagi tentangnya seputar kadar rindu untuk merengkuh sesuatu yang berkualitas, berujung terkuras lalu terhempas.
"Tanah apa ini? apakah tanah air yang akan sanggup menjadi berkah?" katamu.
"Bumi apa ini? apakah bumi pertiwi yang akan terus-menerus melakukan transisi? tanpa mau berevolusi seiring evaluasi demi terwujudnya berdikari?" masih, katamu.
"Apa itu merdeka? bagaimana sikap yang sebaiknya dimiliki seorang yang memang sudah merasakan merdeka?" tanyamu.
"Apa itu memetik? apa yang akan bisa dipetik di bulan merdeka yang tinggal menyisakan hitungan hari yang terus berdetik?" masih, tanyamu.
"Apa itu angka? angka berapa dan angka-angka merdeka yang mana saja yang sakral adanya?" tanyamu lagi, mengenai angka-angka yang sudah sekian lama tertanam di kepala.
Ah ternyata, katamu itu adalah kataku juga. Tanya darimu adalah pertanyaanku juga. Kata dan tanya kita berdua yang adalah satu orang yang sama-sama mencoba memetik beberapa angka di bulan merdeka.
Tujuh belas laksana dua rupa angka yang saling mengisi untuk saling mengingatkan, tujuh belas laksana angka yang jadi perwujudan dua sosok muda-mudi, yang akan awet muda seiring lega pun bahagia sepanjang usia.
Angka delapan jadi satu manifestasi dari jiwa-jiwa yang gagah berani mengisi pun menjalani untuk menikmati momen-momen kemerdekaan, tidak sekadar berpangku tangan, selain jangan sampai yang sama sekali tidak memiliki tujuan.