"Sedikit cerita pembuka, sebelum puisinya dibaca. Terimakasih."
Saat itu seorang penulis muda berbakat pernah bilang ke saya, "Bang Away ... kalau mau menulis senandika itu butuh masuk ke alam bawah sadar untuk yang merasa patah banget pokoknya."
"Waduh, harus banget merasa patah ya? sepatah mungkin ya? sepatah-patahnya? boleh nggak sih sepatah dua patah kata saja? hehehehe." Gumam saya dalam hati, saat itu.
"Waduh, seusia saya? emangnya masih mungkin merasa patah atau dipatahin? hehehehe." Gumam masih berlanjut, saat itu.
*****
Senandika: Hipotesis yang duduk manis
Dia menduga, aku diduga, aku terduga tanpa bisa mencoba menduga-duga. Dia menyangka, aku disangka, berujung aku menjadi seseorang yang adalah tersangka utama.
Linang menggenang di saat terang tak kunjung datang menerangi bimbang, saat sempat hanya lewat, saat harap terucap untuk menetap disatu tetap yang beratap terbukti tidaklah siap.
Bukankah kita terlahir tak sebatas menabuh getir, bukankah kita terpilih untuk memilih cukup sedikit saja menaruh perih, bukankah kita menjalin demi terjalin kasih yang akan berbuah indah mengupas resah.
Mencoba tak bergeming ada yang berpaling, satu ruang lingkup rasa menutup yang terkatup. Langkah-langkah rapuh tertempuh, hanya sisa-sisa suara rasa yang tersedia untuk aku hirup.