Ketika muda, tersedia ragam drama. Masih belajar tentang apa itu peka, masih didominasi memilih terkontaminasi tipu daya, selain menyukai warna suasana yang belumlah akan sanggup setia.
"Apa itu setia?! entahlah!"
Begitupun seputar romansa, debar yang mengalir yang penting sampai ke hilir. Degup yang terketuk mengetuk, hanya meletup sebatas cukup. Benang merahnya entah dimana, yang penting senang.
"Apa itu masa depan?! apa itu doa dan harapan?!"
Tatkala dewasa itu singgah, mulai berbenah diri. Sadar sendiri, bahwa nyali tidak sebatas hanya untuk berekspresi. Mengedepankan egosentris berlarut-larut sangat mungkin akan bisa berakhir tragis, lanjut menangis.
"Apa itu mawas diri?!" satu rupa pertanyaan yang butuh jawaban yang cukup pantas, untuk jadi satu proses pembuktian kadar kapasitas atau kualitas, termasuk faktor mentalitas dari diri itu sendiri sebagai pribadi.
Begitupun seputar romansa, bukan hanya tentang sebatas asal suka. Sebab membutuhkan juga kata sepakat, agar rasa itu benar nikmatnya, sehatnya, pula berkah bermanfaatnya.
Masa merangkai makna, hari menyuruh hati untuk memahami apa saja yang terjadi di setiap edisinya yang teralami. Jam demi jam kerap menghantam, itu semua adalah bahan-bahan utama edukasi.
"Kekasih.. jika benar aku yang terpilih, aku butuh menjalaninya hingga senja itu tiba bagi kita."
"Kekasih.. jika hingga senja itu akan tersedia untuk kita berdua, lalu meraih selamanya adalah istimewa."
"Kekasih.. sudikah kiranya menjadi akhir dari jalan ceritaku?! sebab awal dari ceritaku mulai saat itu, hanyalah satu titik yang garis besarnya adalah untuk menemukanmu."
sedikit catatan, 28 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H