Masa ajarkan rasa, waktu ajari titik temu. Lupa tidak perlu tersisa, sebab satu harta yang berharga adalah masih diperkenankan menjalani sisa, hingga pada akhirnya akan tiba masanya.
Temu ajarkan rindu, sua mengolah rasa. Entah rindu yang bagaimana, entah sua yang seperti apa, namun rindu pun sua akan terus berlaku, meski itu akan tanpa temu yang menjamu ataupun dijamu.
Rupa itu hanya sementara, tidak untuk sekian lama. Rupa juga hanya akan bisa, tergambar tentang sekilas atau sebentar saja, bukan tentang seutuhnya tampak luar dalam yang sebenarnya.
Menari di atas lara, itu sama dengan percuma.
Bernyanyi di atas bara, itu sama dengan memaksa.
Tertawa tanpa merasa, itu sama dengan luntur satu rupa bijaksana.
Kidung rindu itu akan berlagu, tanpa ragu terus melaju. Sorot mata itu akan tetap begitu. Jadi satu ciri, bahwa diri tidak akan pernah jemu menyuarakan sesuatu darinya qalbu.
Tidak tersedia indah, bila menyerah jadi hal lumrah. Tidak tersedia lega tanpanya berupaya. Tidak ada terpaksa, bilamana makna penuhi jiwa raga untuk menuai benih yang bukan asal memilih.
Cita rasa cinta. Cita yang bukan inginnya semata, rasa yang luasnya melebihi pola biasa, cinta yang kadarnya melewati isi dari apa saja yang kurang berisi.
Sementara kerap mengajak terlena, lalu setelahnya... entah apa saja yang akan tersisa, yang semoga saja tidak untuk merasakan terpuruk baginya rasa.
Salam Nostalgia
Bandung, 26 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H