Ketika saya hanya bisa menyebut kata anda, saya kira juga rasa, bahwa itu akan kurang bijaksana. Sebab kita, bukan selalu tentang anda, kan ada saya juga.
Ketika kita, yang adalah anda dengan saya duduk bersama, berarti itu adalah saatnya kita bisa saling merasa, untuk kemudian kita akan mulai bertegur sapa.
Ketika kita sanggup bersama, meski tentu ada beda yang biasa ataupun tidak biasa, kita berdua bisa mencoba merangkai kata demi kata, yang semoga saja pada akhirnya kita akan bersua di tatanan makna yang sama frasa.
Ada matahari, bulan, dan juga bintang yang hadirnya bergiliran. Ada pagi, siang, sore, lalu malam, yang juga datang secara bergantian selama sehari semalam, yang adalah dua puluh empat jam lamanya secara keseluruhan.
Matahari, bulan, juga bintang tentu saling melengkapi sesuai tugasnya masing-masing, begitupun kita... yang adalah anda dengan saya, yang akan alangkah indahnya bila bisa saling melengkapi satu sama lain, sesuai tugasnya masing-masing.
Pagi, siang, sore, juga malam, secara berkala hadir berurutan sesuai putaran. Begitupun kita, secara temperatur... kadang kita merasakan kedinginan, kadang kepanasan, bahkan bisa saja kita merasakan keduanya sekaligus, yaitu perpaduan antara panas dan dingin yang kita namakan demam.
Mentari pagi menghangatkan, menyehatkan. Namun ketika siang, mentari menawarkan kegerahan.
Remangnya rembulan, terkadang menyamarkan. Apa yang tampak, bukan senantiasa keaslian.
Bintang pun bercahaya, meski jauh. Berkedip dari kejauhan, hiasi malam menjadi lebih indah untuk dipandangi.
Pagi adalah awalan, menyiapkan kekuatan. Siang adalah pertengahan, menikmati perjalanan. Sore adalah keteduhan, mensyukuri perjuangan. Malam adalah harapan, menuju esok yang adalah kedamaian, kemenangan.
Kita meniti pagi, jelang siang yang cemerlang. Kita menggugah siang, untuk sore yang gemilang. Kita memupuk sore, untuk malam yang periang. Kita memeluk malam, demi pagi yang benderang.