Jika kamu meniru aku, berarti kamu tertipu. Tentu saja! karena kamu, sebenarnya punya cita rasa dari kualitas diri yang kamu miliki, semenjak kamu terlahir untuk menjadi bagian dari bumi ini.
Bila kamu membaca aku, berarti kamu tengah mencoba untuk merasa. Merasakan apa saja yang telah aku tuliskan, tanpa harus aku katakan. Sebab suara hati itu, menurutku... memang lebih mumpuni ketika dituliskan menjadi rangkaian demi rangkaian penelusuran.
Andai kamu mengerti aku, berarti kita sama yang tengah mencoba seirama. Tanpa harus bersama, kita bisa mengolah rasa. Demi yang untuk kemudian, bahasa rasa kita bisa satu makna yang sangat mungkin membuat lega, masing-masing dari kita.
Bilamana kamu enggan untuk menoleh aku, mudah saja! usah meniru, membaca, atau bahkan mengerti aku. Justru akan alangkah indahnya, jikalau kamu menjauhi aku seutuhnya dengan sebenar-benarnya menjauh dari gambaranku.
Jikalau kamu sudah benar-benar paham bahwa hidup ini singkat, tidak perlu terlalu rajin mengajak debat. Tidak perlu terlalu gigih atau bahkan sangat bersemangat untuk membuat sekat demi sekat, yang sejatinya sama sekali bukan bermanfaat.
"Jangan pernah salahkan aku, jika aku mengagumimu. Namun, jangan pernah juga untuk berpikir bahwa aku akan mendekatimu."
"Kamu, aku, juga mereka... akan selalu terlibat dengan dua sisi di banyak situasi. So! the choice is yours!"
"Apakah tulisanku sama sekali tidak membuatmu bergetar atau untuk sebentar saja berdebar? jika iya! berarti ada sesuatu yang terjadi dengan apa yang disebut resonansi."
Selamat siang dunia. Salam damai, lega, pun bahagia menyertai di desember yang memang ceria.
Bandung, Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H