Hanya sebentar saja, aku meminta ijin kepadamu. Berjumpa beberapa saat saja, bukan untuk berlama-lama. Untuk apa lama, ketika sebentar justru akan bernilai lega.
Hanya sekejap saja, aku memilih untuk bersama denganmu. Entah hanya berapa lama, memang hanya sekejap yang cukup sekejap, bersama denganmu.
Hanya sekilas saja, aku bersedia berdua denganmu. Sekilas yang akan bisa membuat tuntas, tentang kita yang berbeda rima kata.
Ya, rima kata... awalan atau akhiran yang seharusnya bisa seirama. Kata adalah wujud ungkapan yang mewakili perasaan, meski belum tentu, selalu tentang kejujuran perasaan.
Awalnya kita sama-sama berkata setuju, namun kemudian menjadi dua arah. Aku seja setuju, kamu berubah arah menjadi kurang setuju. Kamu berpaling dari hening menjadi nyaring, membuat bising merusak hening.
Akhirnya memang kamu memilih beda suara, kita menjadi kurang seirama. Nada-nada sumbang berhamburan, menggantikan irama merdu nan syahdu yang kita ciptakan bersama di awal senandung kita.
Hanya seumpama, itulah akhirnya. Cita di awal cerita menjadi seumpama, rasa di permulaan menjadi hanya sekadar ibarat. Cinta yang semestinya bisa terpelihara, kini tersumbat yang menjadikan sekat begitu kuat untuk kita berdua.
Untuk sebentar saja, ijinkan aku bersuara untuk terakhir kalinya. Suara yang tidak perlu kamu dengar, hanya suara yang harus kamu hapus setelah melihatnya, membacanya, memahaminya.
"Lelaki ini seja undur diri, tapi bukan tidak punya nyali. Sebab menghargai, menghormati, adalah bagian dari budi pekerti."
"Lelaki ini menyayangi, bahkan sangat mencintai. Tapi lebih utama beranjak pergi, meninggalkan pula menanggalkan apa yang memang telah tanggal, lalu memilih kembali tunggal."
"Lelaki ini enggan jalani mimpi, meski dirimu serupa bidadari."