Aku lebih memilih cukup tersenyum saja, sembari menelaah sekumpulan buah yang ranum tersenyum. Buah demi buah yang kelak akan matang sesuai saatnya.
Buah demi buah yang ranum juga harumnya, memang semestinya yang sepantasnya terpelihara yang terjaga. Buah demi buah yang mana bisa aku tinggalkan begitu saja, tanpa ada yang berkenan merawatnya.
Aku juga lebih memilih untuk merasa saja, lalu berupaya meninggalkan yang menanggalkan apa saja yang hanyalah ego semata. "Hambar yang entah kemana nalar, samar yang entah hilang kemana sadar."
Aku sungguh butuh untuk bisa memilah, tentang apa saja yang sekiranya adalah amanah pun anugerah. Mana bisa aku menelantarkannya begitu saja, atau memperlakukannnya dengan cara yang mungkin saja tidak lumrah berteman berat sebelah.
Masih perlu aku memilah, agar supaya dijauhkan dari seraut wajah gegabah. Gegabah yang enggan untuk mengalah... gegabah yang tak jelas arah, entah lupa langkah.
Ah tentu saja! Seraut wajah yang terbukti cerah, tentu saja lebih indah untuk dipandang. Sanggup membantah untuk memandang yang sekiranya hanya agar supaya bisa terpandang.
Begitulah... cukuplah berupaya menjadi seraut wajah, yang usahlah memiliki celah-celah untuk meraih mudah yang mungkin saja berujung serba salah yang salah tingkah polah.
Ah... alangkah indahnya, bilamana bisa menjadi seraut wajah yang sanggup menjadi sebuah wadah besar yang layak juga tepat, teruntuk sekumpulan buah yang sedang mengupayakan bertumbuh kembang menuju matang yang gemilang membentang.
Ridwan Ali 22072020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H