Fenomena tawuran antarpelajar sebenarnya sudah merupakan hal klasik. Bahkan di dekade 90-an pun, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, tawuran ini banyak terjadi di Makassar. Namun, apa yang terjadi belakangan ini di Jakarta jelas sangat memprihatinkan.
Betapa tidak, dalam dua hari dua nyawa anak muda harapan masa depan bangsa ini meregang nyawa di “arena” tawuran. Kejadian ini pun kembali menyentak hati dan pikiran kita soal apa sebenarnya yang terjadi dengan dunia pendidikan kita. Mengapa pelajar kemudian begitu beringas dan berani menumpahkan darah kawannya sendiri?
Soal tawuran di kalangan pelajar tentu merupakan fenomena yang tak berdiri tunggal. Jakarta misalnya, dengan segudang masalah sosial yang menyertainya, misal kemiskinan, kesenjangan sosial, angka pengangguran yang tinggi, tingkat stress yang tinggi akibat kompetisi hidup yang ketat, kemacetan, premanisme, dan yang lainnya jelas juga turut andil dalam munculnya tindakan subversive ini. Namun, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengatakan bahwa penyebab terjadinya kemerosotan moral dan etika di Indonesia karena pendidikan kita gagal mencerdaskan masyarakat.
Desain pendidikan kita cenderung mendidik individu agar memiliki ketajaman otak/berpikir saja. Tidak memberikan pendidikan watak dan karakter (MI,17/9/2012). Pendidikan karakter yang mendorong siswa untuk berprilaku humanis dan kreatif, kurang mendapat tempat dalam desain pendidikan kita.
Gedung Mati
Tak dapat disangkal bahwa sekolah sekarang menjadi gedung mati yang membekukan ketajaman nurani. Para siswa ditelikung dalam desain pendidikan yang sepenuhnya abai terhadap konteks sosial di luar sekolah. Ruang sekolah menjadi ruang asing, yang justru mengajarkan sesuatu yang sangat jauh berbeda dari ruang sosial budaya di luarnya. Hingga pada akhirnya menjadikan siswa merasa seolah hidup tak berjejak, karena lepas dari nilai-nilai luhur sosial-budaya masyarakatnya sendiri.
Meskipun ada banyak hal yang menjadi sebab terjadinya tawuran, sekolah tetap tak bisa cuci tangan dengan menunjuk hidung di luar dirinya sebagai akar masalah. Saya rasa dunia pendidikan kita harus segera berbenah, mengevaluasi diri ketika siswanya selalu terlibat dalam siklus tawuran tiada henti. Setidaknya pendidikan karakter yang telah dicanangkan sejak 2 tahun silam masih belum menjadi pengalaman hidup keseharian sehingga belum terinternalisasi secara riil dalam diri warga belajar.
Dalam hemat saya, ada beberapa catatan-catatan penting soal kegagalan sekolah dalam mengawal pendidikan di negara kita sehingga muncullah perilaku amoral di kalangan pelajar. Pertama, sekolah sebagai institusi pendidikan yang mapan kurang menyuplai pendidikan moral dan etika pada warga belajar. Selama ini, ajaran-ajaran yang mendapatkan penekanan di sekolah selalu soal pelajaran akademis dalam satuan teori-soal, seperti matematika, fisika, sejarah, dan seterusnya. Kalaupun ada mata pelajaran moral atau agama, ia hanya direduksi sebatas pelajaran yang diajarkan teori an sich dan hanya mendapatkan porsi sangat kecil dalam kurikulum pembelajaran di sekolah.
Sekolah pun seperti “lepas tangan” dalam hal aplikasi, yang penting (bagi sekolah) pelajarannya sudah disampaikan, dan semuanya beres. Sistem persekolahan yang ada selama ini belum bisa memberi jaminan yang dalam hal afektif atau pengolahan emosi. Ilmu dan pelajaran yang diberikan di sekolah baru bersifat kognisi atau dalam hal pemikiran an sich, sekedar ilmu. Padahal, yang terpenting adalah aplikasinya sebab ilmu yang hanya dipahami sebagai ilmu tak ada gunanya ketika dihadapkan dengan realitas sosial yang ada.
Kenapa tawuran terjadi, sementara anak didik sudah diajarkan pendidikan moral atau akhlak dalam agama? Jawabannya itu tadi, sekolah hanya mengajarkan teori belaka.
Hal inilah yang harus segera diubah. Sekolah seharusnya jadi komunitas sosial yang bisa mengajarkan sekaligus menerapkan pendidikan moral bagi murid-muridnya. Setiap orang di sekolah, baik murid, guru, kepala sekolah, pedagang, penjaga sekolah, dan yang lainnya, harus bisa berinteraksi sosial dengan baik dalam sebuah komunitas bersama yang mengangkat etika norma, dan moralitas
Siswa Mesin
Selain itu, tipikal sistem pendidikan kita yang tak humanis yang memberlakukan pelajar layaknya sebuah mesin yang tiap hari disuguhkan dengan rutinitas yang menyebalkan. Rutinitas yang memenjara kreatifitas, hobi, bakat dan minat warga belajar. Sehingga tak jarang pelajar menyalurkannya dalam kegiatan-kegiatan yang negatif.
Kita sering kali menemukan OSIS yang sejatinya dapat menjadi wadah bagi pelajar untuk mengasah kemampuan leadership dan bersosialisasi hanya didesain oleh sekolah layaknya event organizer. Organisasi intra sekolah ini tak lebih dari sekedar menjadi panitia pelaksana tiap kali sekolah mengagendakan kegiatan. Selain itu, dapat dikatakan tak ada sedikitpun niatan sekolah untuk menghadirkan komunitas-komunitas kreatif yang dapat menumbuhkan jiwa produktifitas dan memberi ruang bagi pelajar untuk menunjukkan ke”aku”annya. Bagi sekolah, berorganisasi hanya berdampak negatif bagi pencapaian prestasi akademik peserta didik.