Beberapa waktu yang lalu, seorang teman sempat berkicau lewat akun twitternya yang bunyinya “#miris melihat geliat para kandidat gubernur yg terlalu mempolitisir pendidikan lwt try out yg mereka adakan L”. Kicauan teman saya ini mungkin merupakan wujud kekecewaanya terhadap perilaku para kandidat gubernur belakangan ini. Menarik memang mencermati aktivitas para kandidat gubernur Sulawesi Selatan belakangan ini dalam meraup simpati masyarakat. Dua kandidat gubernur, incumbent Syahrul Yasin Limpo dan Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin dalam waktu yang hampir bersamaan menggarap suara dari kalangan pemilih pemula dengan menggelar try out bagi para pelajar se-Sulawesi Selatan.
Dalam perspektif komunikasi politik, Try out (baca: simulasi ujian) memang merupakan salah satu cara yang efektif dalam sosialisasi kepada para pemilih pemula sebab momentum ujian masuk ke perguruan tinggi semakin dekat. Pun merupakan hal yang wajar saya kira jika para kandidat berupaya untuk meraih simpati lewat berbagai cara-termasuk menggelar try out-apatahlagi para pelajar saat ini memang sedang mempersiapkan diri dan ingin mengetahui sejauh mana kemampuan mereka sebelum memasuki masa seleksi penerimaan mahasiswa baru. Namun, sayangnya try out yang digelar tidak lagi menyuguhkan nuansa pencerdasan tetapi lebih terasa politis – rasa pilgub. Berbagai upaya untuk mempengaruhi pilihan para pemilih pemula ini pun mendapat komposisi yang lebih banyak dibandingkan upaya pencerdasannya. Sehingga, realitas yang terjadi, try out yang digelar tidak lebih dari sekedar melakukan upaya politisasi pendidikan.
Pemilih Mengambang
Tak dapat dipungkiri jika kalangan pemilih pemula merupakan ceruk pasar yang amat menjanjikan. Betapa tidak, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih pemula di Indonesia berkisar 20 persen dari jumlah pemilih secara keseluruhan yang diperkirakan sekitar 153 juta pemilih. Pemilih pemula berkisar pada kisaran usia 17-21 tahun, mereka pada umumnya merupakan pelajar dan mahasiswa tingkat awal. Sehingga secara psikologis, mereka termasuk massa mengambang (swing voters) lantaran mereka masih sekedar jadi pemilih emosional dan belum rasional. Pilihan politik bisa berubah-ubah sesuai pengaruh dari luar dan selera yang pragmatis. Sering pula, pilihan mereka bukan karena paham soal visi dan misi kandidat, tapi cenderung diintervensi oleh isu-isu pencitraan yang bias dan semu.
Meminjam istilah pakar teori kebudayaan Jean Baudrillard, di sinilah demokrasi berpotensi menjelma menjadi hyper demokrasi. Suatu keadaan di mana elemen-elemen demokrasi tumbuh melampaui batas-batas rasionalnya dan kehilangan konteks, makna dan tujuan demos itu sendiri, yaitu kedaulatan rakyat.
Seperti yang sudah-sudah pemilih pemula sekedar dijadikan sebagai raison d’entra untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Politisasi sama dengan manipulasi. Karena dalam demokrasi suara tak ditentukan oleh kualitas intelektual, tapi usia yang sudah ‘akhil baligh’ untuk memilih. Makanya, para kandidat melakukan segala cara untuk meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para kandidat lebih memandang pemilih sebagai crowd atau kerumunan yang mudah dimobilisasi. Sehingga, pemaparan visi misi dianggap tak terlalu penting, karena hal paling esensial adalah bagaimana memobilisasi dan meraih simpati massa sebanyak-banyaknya. Pengenalan visi misi kandidat dengan segala idealitas semunya bukan hal yang prioritas, karena pemilih pemula lebih tertarik pada hal yang bernuansa hedonis, hura-hura. Jadi, hal yang biasa jika dalam pelaksanaan try out, panitia pelaksana menghadirkan artis ternama dan menyuguhkan aneka pertunjukan musik yang sama sekali tak memiliki keterkaitan dengan substansi acara. Belum lagi acara semacam ini selalu saja diselipkan door prize, yang membuat massa berharap-harap cemas mendapat hadiah besar tak terduga sehingga saat beruntung mendapatkannya, mereka merasa bersyukur bisa hadir dan mengucapkan terima kasih yang tiada tara.
Stop Politisasi Pendidikan!
Langkah-langkah pragmatis seperti itu nampaknya mesti segera dihentikan. Pendidikan politik sudah harus menjadi hal yang wajib untuk dilakukan oleh para kandidat. Sebab, jika hal ini terus menerus terjadi, maka akan menimbulkan ekses yang negatif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, terkhusus di Sulawesi Selatan. Para pemilih pemula menjadi tak terdidik dalam sisi politik. Menjaring massa usia belia jelas bukan hal yang dilarang. Bahkan menjadi tugas para kandidatlah untuk menggaet konstituen dengan latar belakang beragam. Namun, jangan lupa hal yang lebih esensial dari itu adalah pemilih pemula mesti dipahamkan secara mendalam soal visi dan misi kandidat bersangkutan. Bagaimana soal visi para kandidat untuk menjamin pendidikan dan masa depan mereka. Setiap tokoh dan kandidat, diperkenalkan bukan melalui citra yang absurd di media cetak maupun media elektronik. Lagi pula, bukankah citra pura-pura selalu bias dan menipu?. Rakyat sudah kelewat lelah mengamati geliat para politisi yang semakin lihai saja memainkan politik pencitraan. Yang kerjanya menyapa konstituen hanya pada saat pemilu atau pemilihan kepala daerah.
Meminjam ungkapan politisi Budiman Sudjatmiko, para kandidat musti pandai membaca lingkungan. Dalam arti terjun langsung ke ranah di mana anak-anak muda itu berada. Menyerap cita-cita ideal yang mereka inginkan dan bersinergi untuk mewujudkannya adalah langkah politik seorang negarawan yang membumi. Namun, dapat kita lihat belum ada satupun dari bakal calon gubernur ini yang berani mengemukakan bagaimana komitmen mereka untuk mengakomodasi segala kepentingan anak muda, kepentingan terkait keterjaminan pendidikan yang murah dan berkualitas, kejelasan masa depan terkait dengan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Kini perlu ada pembenahan paradigma di dalam menempatkan kalangan pemilih muda pada ruang politik yang lebih luas. Apa itu? Yakni meletakkan pelajar sebagai subjek pendidikan politik itu sendiri, tidak melulu sebagai objek politik. Selama ini, secara umum, pemuda (pelajar) sebagaimana masyarakat umum selalu menjadi objek politik. Mereka hanya dilirik untuk hitungan suara saja, tidak lebih.
Hal ini tentu mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan politik itu sendiri selama ini, yakni pencerdasan politik. Tanpa bermaksud menafikan progress perbaikan kesadaran politik yang ada, merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri jika kita terkadang masih saja menemui pemilih yang sekedar memilih atau asal ikut tanpa diikuti dengan kepahaman dan kesadaran. Penggunaan hak politik mereka tidak diiringi dengan pendidikan politik (political education) yang memadai. Akibatnya bisa dirasakan ketiadaan kesadaran politik yang hadir disetiap kenampakan partisipasi yang mereka lakukan. Hal ini tidak lebih dari sekedar aksi ritual yang lebih mensyaratkan untuk digugurkan, tanpa makna, semoga bukan sebagai aksi apatisme akut akibat kejenuhan emosional.
Selama sudut pandang ini tidak mengalami perubahan, sudah bisa dipastikan hanya akan memicu lahirnya “eksploitasi politik” dikalangan pemilih pemula ini. Selamanya mereka hanya akan menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari sekelompok golongan yang menginginkan dukungan suara semata.
Dalam keadaan demikian sebuah proses pendidikan (education), penyadaran, dan pemberdayaan (empowerment) terhadap para pemilih pemula ini menjadi sangat mendesak untuk dipertimbangkan dan diusahakan. Selain itu pesta demokrasi di Sulawesi Selatan sudah sedemikian dekat. Dengan usaha penyadaran dan pemberdayaan tersebut diharapkan kesadaran dan kepekaan akan persoalan yang berhubungan dengan kebijakan politik telah mulai tertanam dalam diri mereka melalui proses belajar dalam wilayah kesadarannya, sehingga paling tidak mereka mampu melakukan aktualisasi konsep yang otonom dan independen terbebas dari ikatan sugestif yang hanya menyentuh wilayah pseudo consciousness, suatu bentuk kesadaran fisik yang tidak melalui internalisasi nilai. Dengan demikian juga diharapkan mereka telah mampu memberi perhatian dan kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang tercakup dalam setiap peristiwa dan perubahan fenomena sosial. Serta lebih jauh memberikan tanggapan dan reaksi yang positif dan tepat memecahkan masalah berkenaan dengan persoalan politik serta mampu terlibat langsung dalam proses yang sadar dimana dalam terminologi Samuel P. Huntington sebagai ”tertib politik (political order). Mereka mampu untuk menyalurkan aspirasi dan tuntutannya secara tertib dan teratur sesuai dengan keberadaannya
Olehnya itu, program-program yang berorientasi pendidikan politik menjadi agenda mendesak buat para tim sukses calon dengan bertitik tolak pada empat tujuan utama. Pertama, program yang diadakan mampu menumbuhkan kesadaran berpolitik sejak dini. Kedua, mampu menjadi aktor politik dalam lingkup peran dan status yang disandang. Ketiga, memahami hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik. Keempat, secara bijak mampu menentukan sikap dan aktivitas politiknya. Namun, pertanyaannya kemudian, adakah yang mau menempuh jalan ini? Kita lihat saja nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H