Mohon tunggu...
Awang Gumay
Awang Gumay Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cumaikolah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Potret Juru Kampanye Sesuatu

24 November 2012   17:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beginilah kalau fotografer amatiran yang hanya berdasarkan kehobian sedang berburu objek. Karena tak mampu membayar model dan tak mampu melancong ke tempat-tempat indah nan eksotis, berburu objek gratisan di sekitar saja dirasa sudah cukup. Seperti aku yang siang menjelang sore ini menelusuri pasar tradisional, berharap menemukan satu atau dua objek yang bisa dijepret.

Hampir satu jam aku menelusuri lorong-lorong sempit dan becek di antara los-los dan lapak-lapak. Percikan becekan pun rasanya sudah membuat corak dan warna baru di ujung-ujung celanaku. Tapi sial, belum satu pun kutangkap objek yang menarik untuk dijepret.

Namun akhirnya, sesaat kemudian langkahku dapat terhenti juga. Aku menangkap objek yang sepertinya menarik untuk kujepret. Seorang laki-laki kira-kira berusia tiga puluh tahunan, bercelana robek-robek, berbaju kaos kumal, dengan rambut kusut awut-awutan, dan mulutnya mengoceh tanpa ada yang meladeni, berada sekitar sepuluh meteran di depanku. Di pundaknya tersandang daypack kumal. Entah apa isinya. Gesit karena tak mau kehilangan momen, langsung kujepretkan beberapa kali kameraku ke arah objek di depanku itu.

Tapi... Ah, rasanya aku ini bodoh! Untuk apa aku berbecek-becekan kalau hanya untuk menjepret orang gila yang sedang ngoceh? Apa istimewanya?  Bukankah di luar sana orang gila lebih banyak dan lebih variatif. Seperti, duet sepasang manusia mengoar-ngoarkan kegilaan ingin berkuasanya di atas sebuah panggung megah, misalnya. Atau, ibu-ibu yang saling menggila, sikut-sikutan, dan injak-menginjak karena berebut pembagian sembako atau uang dari sepasang calon kepala daerah, misalnya lagi. Itu jauh lebih menarik untuk diabadikan. Menuh-menuhi ruang memori kameraku saja. Dihapus sajalah!

Orang gila itu berjalan semakin mendekatiku. Telingaku semakin jelas menangkap ocehannya. Dan..,Ups, tunggu dulu!Kubatalkan jempolku memijit tombol delete. Ocehan orang gila itu membuatku jadi terkesima. Ocehannya jauh dari kengawuran. Ocehannya justru mewaraskan orang yang mendengarkan. Aku jadi penasaran. Benar-benar gilakah orang ini?

"Bang!" iseng kuberanikan menyapanya ketika dia tepat berada di hadapanku.

Dia tersenyuman padaku. Tatapan yang ramah tanpa menakutkan sama sekali dilayangkannya juga padaku. "Iya," jawabnya ramah.

Astaga, dia menjawab sapaanku!

"Mahasiswa yang gemar fotografi, ya?" tanyanya kepadaku sambil telunjuknya menunjuk ke arah kamera di tanganku.

Waduh, aku jadi merasa tidak keenakan. Jangan-jangan orang ini tahu bahwa aku tadi menjepretnya. "Eee.., maaf kalau aku tadi memoto Abang!" ucap maafku meluncur begitu saja.

Dia tersenyum. "O, tidak apa-apa! Aku mengerti alasanmu menjadikan aku objek fotomu," jawabnya. Kemudian dia tertawa lepas. Aku pun dapat melihat giginya tersusun sangat rapi dan bersih.

"Bagaimana Abang bisa langsung menerka bahwa aku mahasiswa yang gemar fotografi?" tanyaku penuh keheranan.

"Mengidentifikasi dari penampilanmu. Berpakaian trendy tapi cenderung casual ditambah dengan daypack dan disertai dengan gesture yang berbicara "aku mahasiswa, lho!" sepertinya menjadi ciri mahasiswa sekarang. Dan hal itu ada padamu. Sementara, untuk kegemaranmu terhadap fotografi, aku menerka dari kamera yang menggantung di lehermu."

Alamak, dia menganalisa rupanya! Ah, aku benar-benar tidak yakin kalau orang ini gila. Mana ada orang gila bisa menganalisa! Dan seandainya benar dia tidak gila, pastilah ada alasan yang membuat dia bergaya seperti orang gila. Coba kupancing sekali lagi. Bila argumennya logis, maka kuyakinkan bahwa dia benar-benar tidak gila.

"Semudah itukah Abang mengidentifikasi seseorang?" pancingku lagi.

Dia tertawa.

"Jelas tidak. Mengidentifikasi dari penampilan yang aku lakukan tadi hanya kebetulan saja kebenarannya. Ada hal lain yang harus diperhatikan untuk dapat menyimpulkan dengan benar siapa seseorang itu. Hmm... boleh aku bertanya padamu?"

Aku mengangguk takzim. Wajahku tertarik ke atas membentuk ekspresi welcome. Dan saat itu juga aku telah menyimpulkan bahwa dia tidak benar-benar gila.

"Apakah orang yang berpakaian robek-robek dan kumal, dengan rambut kusut awut-awutan, sedang mengoceh di keramaian itu dipastikan sebagai orang gila? Kira-kira, seperti kamu tadi melihat aku dari kejauhan begitu!"

Alamak, dia menyindirku! Wajahku menurun.

"Maaf, sejujurnya tadinya sih iya. Tapi kemudian..." Belum sempat kuselesaikan ucapanku, dia kembali mencecarku dengan pertanyaan.

"Bagaimana bila seseorang yang dianggap gila itu ternyata hanya seorang waras yang sedang mengoceh, berkampanye menuntut hak-hak politik umat manusia tapi tak ada orang yang meladeni atau menanggapi ocehannya; masih terbilang orang gilakah orang ini? Atau bagaimanakah bila kita melihat ada orang yang terlihat seolah-olah waras, berpakaian rapi, berpeci, bertubuh bersih, sedang mengoceh, berkampanye di atas panggung megah dalam sebuah perhelatan perebutan kekuasaan; bisa terbilang orang gila jugakah orang ini?"

Aku berdiam cukup lama untuk mencerna pertanyaan itu. Tapi, semakin kucerna dalam pikiran, malah semakin aku tak mampu menjawabnya. Aku harus mengadu pada nuraniku. Ya, aku harus menjawabnya berdasarkan kata nuraniku. Dan akhirnya aku menggelengkan kepala. "Ya, memang benar-benar tak bisa menyimpulkan seseorang hanya melihat dari tampilan luar saja," keluhku.

Siapa orang ini? Tajam sekali ucapannya. Aku jadi benar-benar tertarik dengan orang ini. Pasti ada pelajaran dan pesan moral yang ingin dia sampaikan dari 'kegilaan' yang dia lakukan ini. Maka, kemudian segera saja kuajak dia ke warung makan kaki lima yang ada di dekat kami berdiri. Agar bisa ngobrol lebih panjang sembari makan minum, maksudku.

Di dalam warung, kutawari dia makan, tapi dia menolaknya.

"Terima kasih. Masih kenyang. Aku patuh pada kebutuhan, bukan pada keinginan. Segelas air putih pasti sangat menyegarkan di siang terik seperti ini," ucapnya terdengar sangat dewasa.

Aku yang berniat menumpang duduk untuk ngobrol panjang, tak enak rasanya bila hanya memesan air putih saja. Maka, kupesankan juga sepiring gorengan kepada pemilik warung.

"Hati-hati, Dik! Dia ini orang gila. Dari tadi dia hilir mudik sambil ngoceh tak karuan di daerah ini," bisik pemilik warung kepadaku, ketika dia membawakan pesanan. Aku hanya mengangguk seolah-olah mengiyakan ucapannya. Dan tak kuperdulikan pula pengunjung warung lainnya yang takut bercampur aneh melihat kami berdua.

"O, iya. Aku Ranu," ucapku memperkenalkan diri.

"Bagas," balasnya memperkenalkan diri pula.

Aku tak dapat membendung lagi rasa ingin tahuku tentang orang ini. Langsung saja kuutarakan rasa penasaranku. "Tadi, kulihat Abang ngoceh-ngoceh tak karuan. Sebenarnya, apa sih yang sedang Bang Bagas lakukan?"

Dia tidak langsung menjawab. Dia menenggak air putih-nya. Setelah itu matanya melarak-lirik ke arah stiker-stiker kampanye calon Walikota dan Wakil Walikota yang menempel di dalam warung. Sesaat kemudian pandangannya bergerak dan berhenti ke arah luar warung. Lalu, satu telunjuknya menunjuk ke sebuah baliho besar milik sepasang calon Walikota dan Wakil Walikota yang tercancang di tengah pasar. "Sama seperti baliho itu, Nu."

Dahiku mengerut. "Maksud Abang… kampanye pemilukada?! Memangnya Bang Bagas mencalonkan diri seperti mereka juga? Tapi... apa mungkin calon kepala daerah penampilannya seperti..." Ucapanku terhenti karena dia menyela.

"Jelas tidak mungkin! Bila aku mencalonkan diri, tentulah aku akan berpenampilan sangat etis seperti mereka juga."

"Terus, dimana letak samanya antara apa yang dilakukan oleh Bang Bagas dengan kampanye pemilukada?"

"Ya, sama-sama melakukan kampanye dalam sebuah momen yang sama. Tapi, bila mereka berkampanye dengan pembodohan guna merebut hak pilih masyarakat pemilih, aku justru mengampanyekan supaya masyarakat pemilih melindungi hak pilihnya. Sama, meskipun dianggap kontra produktif oleh kontestan pemilu."

Aku memberanikan diri menatapnya lekat-lekat, sementara dia membalasnya dengan tatapan yang teduh.

"Mmm... Abang sedang melakukan kampanye golput, ya?" tudingku setengah berbisik.

Dia tersenyum lepas. "Tidak, Ranu. Kampanye golput itu mempengaruhi masyarakat pemilih agar tidak memilih. Sementara aku mengampanyekan dan menekankan kepada masyarakat pemilih agar menyadari bahwa memilih itu adalah hak, bukan kewajiban. Karena memilih itu adalah hak, maka aku juga mengajak masyarakat pemilih agar berpikir terlebih dahulu sebelum menggunakan haknya itu. Hanya itu. Berbeda toh antara kampanye golput yang mempengaruhi agar tidak memilih dengan kampanye penyadaran bahwa memilih adalah hak?! Dan disana juga sebenarnya aku mengambil satu peran lembaga penyelenggara pemilu yang tidak pernah lembaga itu lakukan dalam penyelenggaraan pemilu apapun."

"Lho, bukannya selama ini, dalam beberapa pemilu, baik itu Pileg, Pipres, maupun Pemilukada, lembaga penyelenggara pemilu selalu melakukan hal itu?!" sanggahku.

Dia menenggak air putih-nya. Setelah itu dia membuang udara dari tenggorokannya agar air putih dapat melewatinya.

"Tidak. Yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu dalam sosialisasi dan kampanye suksesi penyelenggaraan pemilu selama ini hanyalah menekankan agar masyarakat pemilih menggunakan hak pilihnya. Misalnya dengan menggunakan slogan "WARGA NEGARA YANG PERDULI MASA DEPAN BANGSANYA ADALAH WARGA NEGARA YANG MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA" atau "GUNAKAN HAK PILIH ANDA UNTUK MENERUSKAN PEMBANGUNAN DAERAH" atau "GOLPUT BUKAN PILIHAN MASYARAKAT CERDAS". Nah, bukankah slogan-slogan semacam itu bermakna anjuran menggunakan hak pilih atau bahkan menakuti-nakuti pemilik hak pilih agar jangan tidak menggunakan hak pilih? Lalu, bagaimana bila dalam suatu pemilu si pemilik hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya karena dia tidak menemukan calon atau pasangan calon penguasa yang ideal atau menurutnya semua calon atau pasangan calon penguasa adalah penjahat kebal hukum. Tetap dipaksakan untuk memilihkah dia?! Warga negara yang tidak perduli masa depan bangsa-kah dia? Warga yang tidak ingin meneruskan pembangunan daerah-kah dia? Atau bagian dari masyarakat yang tidak cerdas-kah dia?

Lembaga penyelenggara pemilu itu seharusnya bersikap netral. Dalam artian, tidak mengampanyekan agar menggunakan hak pilih dan tidak pula mengampanyekan agar tidak menggunakan hak pilih. Ingat! Karena memilih bukanlah hak titipan atau hak pinjaman, melainkan hak utuh perseorangan, hak asasi yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, maka, bagaimanapun tak ada daya apapun yang bisa memaksa, mengancam, dan atau menakut-nakuti pemilik hak untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya itu," serunya berapi-api.

Kukitari mataku. Kulihat pengunjung warung lainnya yang awalnya melihat kami dengan aneh, sekarang malah terlihat takzim turut mendengarkan obrolan kami. Aku senang sekaligus bangga. Karena aku, yang tadinya Bang Bagas terlihat seperti orang gila karena kampanye monologisnya, sekarang Bang Bagas terlihat waras karena kampanyenya berubah menjadi kampanye dialogis yang interaktif.

Dia menenggak air putih-nya. Sesaat kemudian dia lanjut berucap, "Dan akan sangat tepat apabila kampanye atau sosialisasi dalam pemilu apapun, lembaga penyelenggara pemilu itu menyelogankan "MEMILIH ADALAH HAK ANDA, BERPIKIRLAH SEBELUM MENGGUNAKANNYA", misalnya. Iya, 'kan?"

"Tapi, lembaga penyelenggara pemilu 'kan dituntut untuk menyukseskan pemilu, Bang! Bukankah slogan yang seperti Abang tawarkan itu nantinya bisa mengakibatkan menurunnya angka pengguna hak pilih?!" sanggahku.

Dia tertawa terkekeh-kekeh. Sepertinya sanggahanku terdengar lucu baginya. Dan kemudian dia berucap, "Benar apabila penyelenggara pemilu harus menyukseskan pemilu. Tapi, akan menjadi kesalahan besar apabila kesuksesannya itu diukur dari tingginya angka pengguna hak pilih. Sebab, yang menjadi tolak ukur kesuksesan lembaga penyelenggara pemilu dalam menyelenggarakan pemilu itu yang sebenarnya adalah bagaimana ia mampu menjaga penyelenggaraan pemilu itu agar berjalan sesuai dengan asas pemilu yang LUBER dan JURDIL, bukan mengejar tingginya angka pengguna hak pilih. Begitu, Dik Ranu!"

"Iya juga, ya! Lalu, bagaimana pula dengan kampanye Abang mengenai masyarakat pemilih harus berpikir terlebih dahulu sebelum menggunakan hak pilihnya, Bang?"

"Nah, kalau itu menyangkut rasionalitas masyarakat pemilih, Nu. Aku berikan contoh perlunya rasionalitas itu dari praktek money politic yangselalu berhasil menjadi alat pukat kotestan pemilu untuk menjaring suara. Sebenarnya, eksistensi praktek ini tidak serta merta disebabkan oleh kontestan pemilu saja, tetapi juga karena diamini oleh pemikiran masyarakat pemilih yang irasional. Seperti pemikiran; Pilih saja kontestan yang mau memberi uang paling besar. Tidak masalahlah bila nantinya dia korupsi, toh siapapun yang nantinya terpilih pasti akan korupsi juga. Dari pemikiran pemakluman yang irasional ini, masyarakat pemilih tidak menghitung besaran kerugian yang diakibatkan oleh politik uang itu. Sementara rasionya sudah jelas, bahwa kontestan pemilu yang menang dengan cara politik uang itu nantinya akan berusaha mengembalikan modalnya, baik itu modal sendiri, maupun modal dari hasil donasi. Untuk mengembalikan uang mereka itu pun tidak akan cukup hanya dari gaji mereka saja nantinya. Maka, mereka pasti akan mengobrak-abrik anggaran dan juga akan korupsi. Dan usaha-usaha tak berperikemanusiaan itu sudah barang tentu tidak sebatas masalah pengembalian modal saja, mereka tentu saja ingin lebih memperkaya diri mereka juga. Dan itu belum lagi termasuk ini-itu untuk membalas jasa tim sukses mereka. Nah, impaskah nilai jual satu suara untuk lima tahun, katakanlah seharga lima ratus ribu rupiah itu ditukar dengan pengorupsian uang rakyat selama lima tahun pula?! Sebagai bahan berpikir, aku berikan contoh kerugian yang hanya berjarak sejengkal dari otak kita yang tak pernah kita pikirkan; misalnya anggaran pendidikan untuk anak-anak kita yang misalnya dianggarkan atau seharusnya dianggarkan diasumsikan sebesar satu juta rupiah per anak per tahun. Tetapi, karena anggarannya dikorup atau dialihkan ke bidang lain yang tidak pro rakyat, maka yang terealisasi hanya sebesar lima ratus ribu rupiah. Akibatnya, ditanggung oleh siapakah yang lima ratus ribu rupiahnya lagi? Ya, tentu saja harus ditanggung oleh para orang tua kita. Ini baru kerugian dalam satu bidang dalam waktu satu tahun. Bagaimana dengan bidang kehidupan kita yang lainnya yang diatur dan diselenggarakan oleh mereka dan sisa empat tahun berikutnya?! Alamat kerugian yang sangat besar yang akan didapatkan oleh rakyat itu.

Memang, penguasa yang lahir bukan dari hasil politik uang itu masih dimungkinkan akan mengobrak-abrik anggaran dan akan korupsi. Tapi, penguasa yang lahir dari politik uang itu lebih sangat dipastikan akan mengobrak-abrik anggaran dan akan korupsi, Nu."

"Hmmm… Kalau sudah begitu, masyarakat pemilih harus bagaimana, Bang?"

"Harus tertanam dan harus saling bersinergi antara kesadaran bahwa memilih adalah hak dengan rasionalisasi mengapa menggunakan dan mengapa tidak menggunakan hak pilih, Nu"

"Wah, bila masyarakat pemilih kita sudah seperti itu semua sementara kultur elite politik kita masih seperti sekarang ini, bisa-bisa pasar pemilu sepi pembeli, dong!"

"Ranu... Ranu...! Kenapa harus takut menelan pil pahit demi pembelajaran berdemokrasi?! Dan jangan lupa, ciri sebuah bangsa berdemokrasi itu bukan hanya soal pemilu, tetapi juga soal pengakuan dan perlindungan terhadap HAM yang termasuk di dalamnya hak politik rakyat."

Aku menggumam sesaat.

"Ngomong-ngomong, Abang melakukan ini sendirian saja, ya?"

"Iya. Aku datang dari daerah seberang. Aku tidak membawa kepentingan politik seseorang atau kelompok.  Dan aku tidak menggunakan uang hasil donasi. Kebetulan aku mempunyai uang lebih dari usaha kecil-kecilan di kampungku. Tidak ada salahnya toh kalau uang itu kugunakan untuk berkeliling mengampanyekan sesuatu yang baik untuk khalayak?"

Aku mengangguk takzim. "Gila! Benar-benar sesuatu!"

"Syahrini, aku suka sensasinya. Gila seperti jambul khatulistiwa-nya! Hahahahaa..." serunya. Kemudian dia berdiri sambil membuka daypack kumalnya. Dikeluarkannya sebuah kamera. Kamera itu jauh lebih bagus dari kamera kepunyaanku. "Ambilah kamera ini. Tolong ambilkan satu potret realita yang paling indah. Aku berharap suatu saat nanti kita bisa memandangi dan menikmatinya bersama-sama."

Aku tertegun tak bergeming. Hingga sesaat kemudian aku hanya bisa memandangi tubuhnya yang mulai menghilang di kesumpekan ramainya pasar tradisional yang becek.

Semoga, Bang. Tapi sebenarnya kita telah menemukan potret itu, Bang. Kamulah potret realita yang paling indah itu, Bang. Meskipun sekarang hanya berbentuk file dalam memori, tapi suatu saat nanti pasti akan tercetak juga.

Selamat berjuang, juru kampanye sesuatu!

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun